SELAMAT DATANG

Selamat datang di blog saya, semoga anda diberkati, Tuhan Yesus mengasihi anda.
Jika membutuhkan pelayanan saya silahkan menghubungi email dave_kandar@yahoo.com; atau Hp. 0813-6409-5029.

Tentang saya

My photo
Pelayanan di Gereja Methodist Indonesia (GMI) Getsemani Binjai Sumatera Utara sebagai asistan gembala sidang dan gembala Pos Pelayanan di Brahrang (2004-2011). Gembala Sidang GMI Damai Sejahtera Jakarta Barat (2011-2013). Asistan gembala sidang di GMI Anugerah Batam (2013-2014). Gembala Sidang GMI Kana Marelan (2014-2015). Pimpinan Perguruan PKMI Methodist-10 TK-SD-SMP Belawan (2015-2018). Asistan Pimpinan Jemaat GMI Kanaan Medan (2018-2019). Pimpinan Perguruan PKMI 2 Kisaran Asahan (2019-2021). Gembala Sidang GMI Kanaan Medan (2021-2022). Pimpinan Perguruan PKMI Pangkalan Brandan dan Gembala Sidang GMI Pangkalan Brandan (2022- sekarang) Tinggal di Pangkalan Brandan Langkat dan melayani bersama istri Pdt. Delima Li En dan dikaruniai seorang anak Daud Kharis Delvidson Kandar.

Blog Archive

Tuesday, June 30, 2015

KEMITRAAN ANTARA PIMPINAN JEMAAT (PENDETA) DENGAN MAJELIS JEMAAT DI GEREJA METHODIST INDONESIA



BAB I.
PENDAHULUAN

Dalam organisasi dan dalam pelayanan gerejawi keberhasilan suatu pelayanan gerejawi tidak hanya tergantung kepada suatu individu atau kelompok, tetapi bagaimana suatu komponen pelayan[1] dalam gereja dapat bekerja sama dan sama-sama bekerja dalam mengembangkan pelayanan dan tentunya dalam koridor tanggung jawab dan peranan masing masing yang dipercayakan dalam bagian pelayanannya.
Tulisan ini akan membahas lebih mendetail tentang kemitraan antara pimpinan jemaat (pendeta) dan majelis dalam lingkup Gereja Methodist Indonesia yang notabene nya gereja dengan  ke-khas-an sistem episkopal (di Indonesia, GMI dengan sistem episkopal koneksional) yang diatur dalam sebuah aturan yang terdapat dalam Disiplin Gereja Methodist Indonesia.[2]
Kemitraan yang bertujuan untuk memahami akan pentingnya keteraturan dan kerja sama dalam suatu pelayanan gerejawi demi mencapai keharmonisan pelayanan suatu gereja yang bertujuan untuk  memuliakan Allah.[3]Oleh karena itu, dalam tulisan ini lebih memfokuskan kepada kemitraan dalam organisasi dan kemitraan dalam pelayanan bersama antara pimpinan jemaat (pendeta) dan majelis.
Kemitraan dalam gereja antara pimpinan jemaat (Pendeta) dengan majelis sangat penting, di satu sisi pimpinan jemaat (pendeta) adalah hamba Tuhan, pelayanan Tuhan yang di pilih Tuhan untuk menjadi seorang ‘gembala”, salah satu dari rahasia keindahan dari panggilan “gembala” sebagai sebuah gelar adalah terletak dalam hal ini, istilah gembala merujuk langsung kepada Kristus sendiri. Dalam budaya Ibrani, gembala itu telah dijadikan sebuah ibarat penjaga domba yang dipercayakan, memiliki tanggung jawab.[4] Dalam tugas lainnya, yang sangat penting, seorang pimpinan jemaat (pendeta) juga adalah seorang pemimpin rohani, yang bersangkut paut dalam jalannya suatu kepemimpinan dalam gereja.  Jika dibandingkan definisi kepemimpinan dalam perjanjian lama juga bersumber dari pemahaman tentang gembala, yaitu metafora dari kata Ro’eh yang diterjemahkan sebagai  shepherd leadership yang artinya pemimpin sebagai gembala, yang artinya sebagai raja, imam dan nabi yang bertugas memelihara dan  memberi makan umatnya.[5]  Bandingkan juga dengan istilah dalam perjanjian baru poimen  metafora untuk Yesus sebagai gembala yang baik.[6]
Ini berarti seorang  pimpinan jemaat (Pendeta) adalah seorang yang mampu memimpin, memerintah, mengatur, dan memiliki wibawa dan wewenang yang berasal dari kasih Kristus.
Di sisi lain, mitra dari pimpinan jemaat (pendeta), yaitu majelis adalah orang-orang percaya yang sudah menjadi warga gereja, dipilih, diteguhkan  untuk memangku tugas dan jabatan gerejawi . Dan tidak ada seorang pun warga gereja yang dapat menjadi majelis gereja tanpa dikehendaki oleh Allah dengan perantaraan dipilih, dipanggil, dan diteguhkan.  Dan tentunya dengan fungsi untuk mewujudkan kebijaksanaan dan pelayanan gereja dengan ketentuan yang diatur dalam aturan atau tata gereja yang berlaku[7] (dalam hal ini GMI adalah Disiplin GMI yang berlaku).
Melalui pemahaman dari dua jabatan ini, yaitu pimpinan jemaat (pendeta), dan majelis, dapat di pahami bahwa keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Yaitu mewujudkan kebijaksanaan gereja atau tugas gereja dalam panggilan gereja di dunia ini, dengan wibawa, wewenang dan kuasa yang berasal dari kasih Kristus, dan didasarkan pada aturan atau tata gereja yang berlaku.










 BAB II
KEMITRAAN ANTARA PIMPINAN JEMAAT (PENDETA) DENGAN MAJELIS JEMAAT DI GEREJA METHODIST INDONESIA

Gereja Methodist Indonesia adalah gereja yang berdasarkan kepada sistem gereja episkopal koneksional, yaitu sistem yang diwarisi dari Gereja Methodist Amerika, Richard Daulay dalam bukunya “Episkopal Koneksional-Sejarah, ajaran dan organisasi Gereja Methodist Indonesia” menjelaskan bahwa sistem GMI ini secara historis berasal dari akar tradisi ekklesia dari Gereja Methodist Amerika yang sekarang namanya adalah United Methodist Church[8].
Sistem episkopal ini terkait dengan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang bishop sebagai episkopos (pengawas). Dalam sistem episkopal murni bishop memiliki kekuasaan mutlak atau dengan bahasa yang dipakai oleh Sahat Martua Lumban Tobing dalam bukunya sebagai kekuasaan berada pada aturan satu orang dengan aturan main: 1) Bishop bertanggung jawab terhadap penempatan pendeta; 2) Bishop memiliki hak kekuasaan veto dalam penahbisan; 3) Bishop adalah pejabat yang secara hukum adalah pejabat tertinggi. Sehingga kekuasaan bishop mendominasi sistem pemerintahan di gereja Methodist.[9] Bahkan dalam Disiplin  GMI menjelaskan juga bahwa Gereja Methodist Indonesia menganut sistem keepiskopal yang sama dijelaskan pada poin diatas bahwa dimana kepemimpinan tertinggi dipegang oleh Bishop.[10] Atau dengan pengertian bahwa gereja dipimpin oleh beberapa bishop yang bekerja dan melayani secara koneksional, terkait satu dengan yang lain.[11]
Sedangkan dalam pemahaman episkopal yang koneksional Gereja Methodist Indonesia, ke-episkopos-an seorang Bishop, di ordinansi kan melalui sistem pengawasan kepemimpinan Distrik Superintendet, dan para pendeta lokal yang di tempatkan (Pastor in charge).
Sistem episkopal koneksional ini terkoneksi satu dengan yang lain dalam beberapa gereja melalui tahapan-tahapan konferensi-konferensi yang ada dalam Gereja Methodist Indonesia. Pendeta lokal sebagai anggota konferensi mengidentifikasikan dirinya sebagai utusan gereja, sebagai representasi dari pengawasan atau episkopos itu sendiri. [12] Lebih lanjut, tentang koneksional, Duecker dalam bukunya “Tension in the connection” menjelaskan bahwa istilah koneksional lebih merujuk juga  kepada perwujudan dari hubungan diantara denominasi dan setiap orang yang tergabung di dalamnya dalam sebuah unit gereja. Seorang jemaat tidak hanya spesifik hanya menjadi anggota gereja lokal, tetapi secara menyeluruh ia menjadi anggota Gereja Methodist.[13]

II. I. Tantangan kemitraan antara pimpinan jemaat dan majelis dalam Gereja Methodist Indonesia.
Telah di uraikan dalam bagian pendahuluan bahwa kemitraan dalam pemahaman ini bertujuan untuk memahami akan keharmonisan dalam pelayanan suatu gereja untuk mencapai tujuan bersama demi memuliakan Allah. Tetapi pada kenyataan dalam Gereja Methodist Indonesia kemitraan dalam sistem episkopal koneksional ini menuai banyak sekali persepsi, masalah yang dilematis berkenaan dengan sistem kepemimpinan[14].
Persepsi yang berbeda, problema itu didasari  dengan berbagai alasan terutama menyangkut akan siapa yang menjadi ketua dalam ke-majelis-an, menyangkut juga dengan bagaimana pelaksanaan atau penerapan sistem ini dalam proses suatu pelayanan,  baik dalam administrasi maupun dalam lingkup pelayanan itu sendiri.
Hal ini dilatar belakangi dengan banyaknya majelis atau jemaat yang berlatar belakang bukan dari jemaat Methodist murni, atau jemaat yang ber attestasi dari gereja lain yang memiliki sistem yang lain (presbiterian, kongresional, dan lain sebagainya)[15]. Dan juga disebabkan kurangnya pembinaan akan ke-Methodist-an bagi para majelis dan jemaat dalam gereja lokal.
Akhirnya disebabkan hal demikian, mengutip Richard Daulay dalam bukunya bahwa GMI mengalami yang namanya krisis identitas dan akhirnya gereja diperintah oleh majelis dengan segala badan atau komisi yang ada didalamnya. [16]
Lebih jauh Richard Daulay dalam bukunya memberikan contoh bahwa Gereja Methodist Indonesia sudah bergeser dari prinsip ke-episkopalan-nya dengan membandingkankan antara GMI yang episkopal dengan Gereja Batak Karo Protestan dengan presibiterial sinodalnya.
“Pada rapat yang pertama dari majelis gereja haruslah  mengorganisir dirinya dengan  memilih ketua (boleh, pendeta, guru Inji, dan kaum awam).[17] “Yang menjadi Ketua Majelis Jemaat ialah Pendeta jemaat, apabila dalam jemaat tersebut belum ada pendeta, yang  menjadi ketua adalah guru agama. Dan  jikalau guru agama belum ada, yang menjadi ketua adalah seorang dari  penatua yang ada oleh majelis jemaat.”[18]

Dan beliau mempertanyakan tentang gereja tersebut mana yan lebih episkopal?[19]
Jikalau kita bandingkan dengan Disiplin GMI tahun 2013, hal yang sama yang dicatat oleh Daulay dalam bukunya terulang kembali. Disiplin GMI 2013 menjelaskan tentang posisi ketua majelis dengan  “nada” yang hampir sama dengan Disiplin GMI 1980:[20]
Walaupun dalam penjelasan disiplin tahun 2013 dijelaskan dibagian akhir Tugas dan tanggung jawab ketua majelis poin 2, ….Atas bimbingan pimpinan jemaat. Tetapi tetap saja kemurnian dari episkopal  GMI masih abu-abu. Karena akhirnya, struktur dari keepiskopal tidak terlaksana dengan baik, sehingga dapat menyebabkan gereja tidak mempunyai identitas yang jelas.
Dan penulis kuatirkan akan terjadi polemik kepemimpinan antara kepemimpinan yang dipegang kaum warga jemaat sebagai ketua majelis, dan posisi serta kewenangan pimpinan jemaat sebagai mandataris dari sistem keepiskopalan yang bertugas sebagai episkopos dalam suatu gereja (lokal) GMI.

            II.2. Solusi dan saran penerapan sistem episkopal dalam kemitraan antara pimpinan jemaat (pendeta) dan majelis jemaat.
            Walaupun dalam sistem pemerintahan suatu organisasi baik itu organisasi umum berbicara tentang otoritas, dan ke-episkopal-an lebih menjelaskan kepada otoritas ter-atas yaitu bishop sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dalam Gereja Methodist Indonesia, dan didelegasikan kepada para Distriksuperintendent (DS), dan didelegasikan kepada para pendeta yang ditempatkan oleh konferensi tahunan dalam gereja lokal. Tetapi dalam ini tidak bertujuan untuk menitikberatkan kepada otoritasi kekuasaan. Menurut penulis bahwa hal ini lebih bertujuan untuk menjaga kewibawaan ciri khas gereja dengan segala pengajarannya dalam Gereja Methodist Indonesia.
Oleh karena itu, tantangan dengan segala persepsi, yang menyangkut tentang ke-episkopal-an yang sering di anggap sebagai “kekuasaan yang otoriter” ditangan para pendeta sebagai pemegang mandat ke-episkopos-an seharusnya tidak perlu dikuatirkan (terutama oleh kaum warga gereja, majelis).
Yang ada sebaiknya adalah pemahaman bersama yang positif tentang suatu pembagian tugas dan pembagian sistem pelayanan yang bertujuan untuk kemajuan suatu pelayanan dalam gereja yang harus dipahami kaum warga gereja dan hamba Tuhan (pendeta). Tetapi dengan tidak mengabaikan struktur Gereja Methodist Indonesia yang telah di atur bersama ketika perumusan Disiplin dalam Konferensi Agung yang juga kaum warga gereja ikut andil didalam penyusunannya .
            Mengutip penjelasan Bishop Jack M Tuel yang di kutip oleh Richad Daulay dalam bukunya “Episkopal Koneksional; Sejarah,ajaran, dan organisasi Gereja Methodist Indonesia”, Bishop Tuel menganalogikan sistem pemerintahan episkopal koneksional dengan sistem pemerintahan tiga pilar ‘Trias Politika”, yaitu legistatif, eksekutif, dan Yudikatif. Dimana Konferensi Agung sebagai legistatif yang fungsinya membuat disiplin (by laws), bishop sebagai eksekutif  yang berfungsi menjalankan  to execute “peraturan-peraturan” , dan DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang berfungsi mempertimbangkan, meneliti, dan memutuskan sah atau tidaknya suatu keputusan.[21]
            Mengamati penjelasan Bishop Jack M. Tuel ini, seharusnya inilah yang dipahami dalam gereja lokal, menyangkut kemitraan antara pimpinan jemaat (Pendeta) dan majelis, adanya suatu pembagian tugas, pembagian job description dalam suatu pelayanan. Tentunya intinya adalah identitas Gereja Methodist Indonesia yang episkopal tidak terabaikan.
            Tentang kedudukan kepemimpinan (pemimpin) dalam suatu gereja lokal, seiring dengan pemahaman episkopal, dalam penjelasan Bishop Jack M Tuel, bahwa sebagai  to  execute adalah bishop yang didelegasikan kepada pendeta yang ditempatkan (Pastor in charge), maka sudah selayaknya dan memang seharusnya, pendeta lah yang menjadi nakhoda atau lebih detail sebagai leader/ ketua dalam suatu organisasi Gereja Methodist Indonesia yang bercirikan episkopal. Mengapa? Karena mereka-mereka (baca: pendeta), yang bertanggung jawab menjaga ajaran, dan aturan-aturan serta identitas Gereja Methodist Indonesia tetap ada pada  rel  yang sudah ditetapkan.
            Berkenaan dengan kedudukan pimpinan jemaat (pendeta) dalam aturan yang tertulis dalam Disiplin GMI 2013[22],penulis berpendapat bahwa aturan tersebut telah meleset dari warna ke-episkopal-an serta harapan identitas Gereja Methodist Indonesia akan terus terjaga baik lokal maupun secara umum. Dengan mengijinkan warga gereja menjadi Ketua dalam ke-majelis-an adalah suatu pergeseran dari sistem ke-episkopal-an itu sendiri.
            Membandingkan dengan Disiplin GMI tahun 2009, BAB III Pasal 22 yang menjelaskan bahwa Ketua Majelis adalah Pimpinan Jemaat, dan dijelaskan dalam Pasal 23 bahwa tugas Pimpinan Jemaat dalam poin 1. Memimpin dan mengarahkan rapat Majelis sehingga mencapai sasaran dan tujuannya.[23] Dan dibandingkan dengan bagian yang sama, yang di atur dalam Disiplin GMI tahun 2013. Maka kecendrungan kita bisa memahami bahwa yang lebih menekankan ke-episkopal-an adalah Disiplin GMI tahun 2009, dengan alasan bahwa tugas dan tanggung jawab pimpinan jemaat, sebagai ketua majelis jelas untuk memimpin dan mengarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang rel nya tentunya adalah sistem GMI itu sendiri yang notabene nya dipahami oleh pimpinan jemaat.

BAB III.
                                                              KESIMPULAN

            Dari uraian BAB I dan BAB II diatas, tentang kemitraan antara pimpinan jemaat (pendeta) dan majelis jemaat dalam Gereja Methodist Indonesia. Maka penulis memberikan beberapa kesimpulan.
1.      Kemitraan antara Pimpinan Jemaat (Pendeta) dan Majelis Jemaat dalam pelayanan suatu gereja lokal sangat penting demi tercapainya tujuan gereja untuk kemuliaan Allah.
2.      Pimpinan Jemaat sebagai episkopos yang menjaga identitas gereja dalam hal sistem dan pengajaran memegang peranan penting dalam mengendalikan dan mengatur suatu jalannya pemerintahan dan pelayanan gereja. Termasuk majelis sebagai mitra kerja di dalamnya.
3.      Untuk menjaga ciri khas atau identitas ke-episkopal-an dalam Gereja Methodist Indonesia, maka seharusnya jabatan Ketua Majelis sebagai leader  dalam suatu kemajelisan harus kembali kepada pimpinan jemaat (pendeta), hal ini bukan bertujuan untuk mencari siapa yang berkuasa (otoritasi/ otoriter) tetapi lebih menekankan kepada “menjaga identitas gereja”, karena leader memegang peranan penting dalam suatu organisasi, bahkan organisasi gereja sekalipun. Sehingga dengan pemahaman tersebut, tidak akan ada lagi praduga yang mengarah kepada “kekuasaan”, tetapi lebih kepada menerima dengan legowo aturan ini untuk dan demi terjaganya identitas suatu gereja yang di dalamnya berisi doktrin, aturan dan prinsip Gereja Methodist Indonesia.

















































[1]  Komponen pelayan adalah hamba Tuhan (pendeta, guru Injil), majelis jemaat, aktivis, dan jemaat itu sendiri dalam suatu kesatuan pelayanan yang masing masing mengambil peranan penting dalam kesuksesan suatu pelayanan.
[2] Yang diatur dalam BAB III tentang Majelis Jemaat  pasal 15 s.d pasal 43, dan BAB V tentang Kependetaan terutama pasal 61, Disiplin GMI tahun 2013.
[3] Band. Mitra dalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diartikan kawan, sahabat, rekan, teman sekerja. ------, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (http://kbbi.web.id/mitra), diakses 28 Maret 2015
[4]  Band. Charles Jefferson,  Pejabat Gereja sebagai Gembala Sidang, (Hongkong;  Living books for all, 1977),  13-15.
[5]  W.E  Vine, Merril . Unger, William White, Jr. Vine’s Exspository Dictionary o the Old Testament, (USA,; Thomas Nelson Publisher, 1985), 228.
[6]  Gerhard Kittel, Teological Dictionary of the New Testament Vo. II, (Grand Rapids;  Eedermans, 1979), 907.
[7]  Djimanto Setiadji, Majelis gereja yang melayani, (Yogyakarta; Taman pustaka Kristen, 2011), 7
[8] Richard Daulay, Episkopal Koneksional-Sejarah, ajaran dan organisasi Gereja Methodist Indonesia, (http://abbah.yolasite.com/resources/Episkopal%20 Koneksional.pdf; diakses 28 Maret 2015),  95
[9]   Sahat Martua Lumban Tobing, Model Kepemimpinan Episkopal, (Jakarta, BPK Gunung Mulia;2003),  2-3
[10]  ---------------, Disiplin GMI tahun 2013, (Medan,  Badan Disiplin GMI, 2014), 27
[11] Richard Daulay, Mengenal Gereja Methodist Indonesia, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 167
[12] Band. Jack M. Tuell, The Organization of the Methodist  Church, (Nasville, Abingdon Press, 2005), 61-62.
[13] R Sheldon Duecker, Tension In The Connection, (Nasville, Abidnon Press, 1983), 21
[14]  Sistem hirarki episkopal bersangkut paut erat dengan sistem kepemimpinan suatu gereja untuk menjaga identitas  gereja.
[15] Jemaat GMI yang berlatar belakang suku Batak lebih mudah untuk di berikan pemahaman akan episkopal karena lebih condong mereka berlatar belakang dari Lutheran sedangkan jemaat GMI yang berlatar belakang suku Tionghoa lebih condong kepada Persbiterian disebabkan pengaruh dari gereja- gereja Calvinis. Dan bahkan akan lebih sulit menjelaskan pemahaman akan ke-episkopal-an dalam GMI yang berlatar belakang suku Tionghoa, ditambah lagi dengan sumber daya hamba Tuhan yang lebih banyak bersumber dari STT yang berlatar belakang Calvinis. (Penulis sendiri dari awal melayani di GMI, berasal dari GMI berlatar belakang suku Tionghoa-Post note).
[16] Richard Daulay, Mengenal gereja…., 49
[17] Dikutip dari Disiplin GMI Tahun 1980,hal 39; oleh Richard Daulay, Mengenal gereja…, 18
[18] Dikutip dari Tata Gereja BNKP oleh Richard Daulay, Mengenal gereja…., 18
[19]  Richard Daulay, Mengenal…, 50.
[20]  Band. -----------, Disiplin GMI tahun 2013, (Medan; Badan Disiplin GMI, 2014), 42-43.
[21]  Richard Daulay, Episkopal Koneksional; Sejarah; ajaran dan organisasi Gereja Methodist Indonesia, (Jakarta;  BPK Gunung Mulia, 2013), 87-88.
[22] --------------, Disiplin GMI Tahun 2013,  42-43
[23] -------------, Disiplin GMI Tahun 2009, 44

Sunday, June 21, 2015

FIRST LOVE

"Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau meninggalkan kasihmu yang semula" (Wahyu 2:4)

Dalam sebuah iklan deodorant di televisi, pemeran iklan tersebut mengatakan "Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda". Bagaimana kesan anda ketika pertama kali anda mengalami jatuh cinta? tentunya akan mempunyai kesan tersendiri, ada kenangan yang tak akan mudah terlupakan. Ada semangat untuk bertemu terus dan tidak mudah melupakan.

Bagaimana kesan anda ketika anda pertama kali mengalami jatuh cinta kepada Tuhan (Pertobatan mula mula), saya yakin anda mengalami semangat yang menyala-nyala, hidup anda mengalami perubahan yang drastis, anda memiliki kerinduan yang besar untuk mencintai Tuhan dan melayani Tuhan. Bahkan ekstrimnya anda ingin selalu bertemu dengannya baik dalam doa, ibadah (ke gereja), melayani dan sebagainya. Mengapa ? karena cinta anda masih menggebu gebu. 

Demikian pula jemaat di Efesus, mereka mengalami suatu pengalaman pertobatan dan pertemuan dengan Allah yang luar biasa, memiliki semangat yang menggebu gebu untuk melayani, tipe pekerja keras dan tekun melayani, kuat menghadapi cobaan ajaran sesat pengikut Nikolaus, dan kuat dalam penderitaan yang dilakukan kaisar Nero kepada orang kristen.
Tetapi apa yang terjadi selanjutnya, akhirnya semua yang dilakukan menjadi hambar, hanya sekedar rutinitas, semuanya akhirnya dilakukan tanpa "Roh yang menyala-nyala" dan akhirnya tanpa kasih. Tidak ada lagi kasih mula mula, yang ada hanya karena kewajiban, tak ada lagi semangat mula mula dalam melayani.

Saudaraku, bagaimana saya dan anda saat ini, mari kita renungkan kisah pertobatan kita, kisah cinta mula "mula kita kepada Tuhan kita. Apakah saat ini semangat "First love" itu masih membara? ataukah sudah mulai redup. Jika masih membara, mari pertahankan! Jika sudah mulai redup, mari kobarkan kembali untuk pelayanan bagi kemuliaanNya. 
Tuhan Yesus memberkati! (Dave)

“HORMATI ORANG TUA



KHOTBAH GMI GETSEMANI BINJAI
Minggu, 31 Mei 2015
Keluaran 20:12 “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.”

PENDAHULUAN
            Setiap budaya dan bangsa serta adat istiadat memiliki aturan dan konsep yang berbeda tentang menghormati orang tua. Maka ada cerita Malin Kundang yang durhaka terhadap orang tua. Ada cerita konsep kongusianisme  put hao bagi suku Tionghoa yang tidak menghormati orang tua.
Sebagai anak Tuhan dalam Alkitab jelas bahwa Keluaran 20 memaparkan tentang kesepuluh hukum Taurat yang diberikan Allah kepada Musa, dan hukum yang kelima adalah tentang orang tua:
“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.”
Tuhan memerintahkan dengan jelas dalam bagian hukum yang kelima ini bahwa bangsa Israel harus menghormati ayah dan ibunya, apa arti menghormati ayah dan ibu dalam pengertian hukum ini?
Menghormati ayah dan ibu dapat dipahami bahwa ini adalah sebuah hukum moral/ aturan moral yang disampaikan Allah untuk umat Israel melalui Musa, hukum yang disampaikan oleh tangan Allah sendiri. Dan hukum yang kelima ini adalah hukum yang bersifat kewajiban yang abadi. Dalam bagian menghormati orang tua ini, bukan sekedar mengucapkan dengan bahasa tubuh atau bicara saja. Tetapi menghormati dengan ketaatan dengan penuh sukacita dan kerelaan. Bahkan dengan memperhatikan kebutuhan sandang, pangan dan papan yang mereka butuhkan. Dan ini wajar sepantasnya orang tua terima atas biaya dan perhatian serta pengorbanan yang mereka curahkan ketika mereka membesarkan anak anak mereka. Hal sederhana adalah memperhatikan kebutuhan mereka, mengunjungi mereka, memberikan dukungan, bahkan memberitakan mereka kabar sukacita keselamatan dari Tuhan Yesus jikalau mereka belum percaya.

HUKUM MENGHORMATI ORANG TUA YANG BESERTA JANJI JANJINYA.
            Berbeda dengan hukum hukum lain, dalam hukum kelima menghormati orang tua ini, ada janji yang jelas yang melekat langsung dalam hukum kelima ini, menghormati orang tua.  Yaitu perhatikan ayat 12. “…..Supaya lanjut umurmu ditanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu”. Bahkan dibandingkan dengan Ulangan 5:16 ada janji  selanjutnya. “….dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu”.
Paulus dalam Efesus  6-2-3 jelas mengulang perintah ini:
“Hormatilah ayahmu dan ibumu" adalah perintah pertama dari Allah dengan janji, yakni: "Supaya engkau berbahagia dan panjang umurmu di bumi.” (IBIS)
Luar biasa perintah ini, perintah menghormati orang tua dan janji yang diberikan Allah. 1) panjang umur; 2) ada kebahagiaan; 3)keadaan menjadi baik.

            CARA PANDANG YESUS DALAM MENGHORMATI AYAH DAN IBU
Seperti juga perintah perintah yang lain, Yesus memberikan ringkasan dalam perintah menghormati orang tua.  (Markus 7:10)
 “Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati.”
Mengutuki  (Kokalogeo, Ynani) ini memberikan arti sederhana adalah “Mengata-ngatai yang jahat”,  “Barang siapa mengata-ngatai yang jahat kepada ayah dan ibunya akan dihukum mati”.
(Bandingkan dengan Amsal 20:20)

CONTOH TINDAKAN YANG TIDAK MENGHORMATI ORANG TUA DALAM ALKITAB
            Markus 7:11-13
“Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban--yaitu persembahan kepada Allah--, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatupun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan."
 Ini semacam alasan atau dalih orang orang Yahudi pada saat itu untuk lolos dari perintah menghormati orang tua, sederhananya mereka katakan bahwa :  tidak ada lagi apa apa yang dapat diberikan kepada orang tua, karena semuanya telah diberikan kepada Allah (dikurbankan). 
Ini semacam alasan untuk mereka lolos dari kewajiban menghormati orang tua. Dengan alasan bahwa semuanya sudah diberikan kepada Tuhan.  Semua di alokasikasikan untuk Tuhan, bahkan ketika orang tuanya membutuhkan pun si anak tidak bisa memberikan dengan dalih semua untuk Tuhan. 
            Dan Tuhan Yesus mengutuk penggunaan alasan  (Korban: Persembahan untuk Allah) sebagai alasan untuk menghindarkan kewajiban menolong orang tuanya.
Maka jelaslah bahwa bagi Tuhan menghormati orang tua itu begitu penting . Sedemikian pentingnya hingga perintah itu menjadi bagian dari sepuluh hukum Taurat.

MENGHORMATI ORANG TUA DALAM KONSEP SUKU TIONGHOA VS FIRMAN ALLAH.
            Suku Tionghoa memahami makna menghormati orang tua sangat dipengaruhi dalam konsep Konfusianisme. (Koghucu). Konsep menghormati oran tua hao adalah konsep yang sudah digariskan turun temurun dari generasi ke generasi selama ribuan tahun.
Mengutip dari China daily,  pada jaman dulu, di Tiongkok, orang orang yang tidak menghormati orang tua akan sangat dipandang rendah oleh masyarakat, bahkan jika dia pejabat maka dia akan sulit dipromosikan naik jabatan, jika dia seorang sarjana dan tidak menunjukkan baktinya kepada orang tua, maka ide idenya tidak akan didengar oleh orang banyak. Jika dia adalah pedagang, dan dia tidak menghormati orang tua, maka tidak akan ada yang mau membeli apapun dari dagangan dia. Dan jika dia adalah wanita yang tidak menghormati orang tuanya maka tidak akan ada yang mau menikahinya. Bahkan dalam beberapa dinasti, memberikan aturan bahwa jika tidak menghormati orang tua adalah digolongkan dalam suatu kejahatan.
            Bila dipandang sekilas, konsep menghormati orang tua yang sangat ditekankan dalam budaya Tionghoa selaras dengan penekanan dalam Firman Tuhan. Yaitu perintah yang sama “untuk berbakti kepada orang tua”.
            Perhatikan  beberapa ajaran Konfusianisme dalam hal menghormati orang tua.
  1. Menghormati orang tua dalam konfusianisme adalah salah satu dari enam etika pilar terpenting dalam hal menghormati sesama manusia.

2.      Confusius berkata : "Seorang pemuda harus berbakti pada orang tua ketika berada di rumah, menghormati saudaranya yang lebih tua ketika berada di luar rumah; menjaga tingkah laku jujur dalam perkataan; mencintai semua orang dan menjalin persahabatan dengan orang-orang yang baik."

  1. Confusius tentang bakti anak. Confucius menjawab, "Sekarang kewajiban seorang anak hanya memastikan bahwa orang tuanya mendapatkan cukup makanan. Namun, anjing dan kuda pun mendapat perhatian seperti itu. Jadi, jika seseorang hanya memberi perhatian tanpa diikuti rasa hormat, apalah bedanya antara memperhatikan orang tua dan memperhatikan anjing dan kuda?"

Sekilas jika diperhatikan pada 3 poin diatas ajaran Konfusianisme selaras dengan Keluaran 20:12 “Hal menghormati orang tua. Beda nya dimana?
Kebanyakan orang mengatakan bedanya adalah “ jika orang Tionghoa menghormati orang tua sampai kepada ketika mereka sudah meninggal, mereka menghormati bahkan menyembah menyembayangi, memelihara meja sembahayang, Sedangan firman Tuhan menekankan pada penghormatan ketika ada kesempatan waktu mereka masih hidup.”.
Ternyata konfusianisme menekankan hal yang sama : Ketika beliau ditanya bagaimana menghormati roh-roh leluhur yang sudah mati, beliau menjawab : “Saat kamu tidak bisa melayani manusia, bagaimana bisa kamu melayani roh roh mereka”.
            Oleh karena itu Firman Tuhan yang utama sebagai dasar pijakan hidup kita sangat menekankan penghormatan orang tua beserta janji-janjinya, sebenarnya selaras dengan ajaran orang Tionghoa, yang ditekankan adalah menghormati orang tua sewaktu hidup.
Dan tidaklah benar praduga kebanyakan orang yang menilai, bahwa orang
Tiong Hoa diwajibkan melayani/menghormati orang tua mereka melebihi
daripada Allah sebab Konfucius sendiri berkata: “Karena itu, seorang
yang mengasihi orang tuanya akan melayani mereka sama seperti juga
melayani Surga, dan melayani Surga sama seperti melayani orang tuanya
. (Band. “Saat kamu tidak bisa melayani manusia, bagaimana bisa kamu melayani roh roh mereka”, Konusianisme.)
Apakah cukup apabila kita sekedar mendukung dan membantu orang tua
kita dengan bantuan materi, tetapi selanjutnya kita tidak menghormati
mereka. Bukti kasih antara lain ialah memberikan waktu kepada orang
yang kita kasihi.
Seorang Ibu rela menyediakan waktu selama 24 jam untuk bayinya, begitu
sang Ibu mendengar bayinya menangis ia langsung bangun, tetapi
bagaimana dengan putera/i nya setelah mereka dewasa mereka tidak
punya waktu, walaupun sudah di undang dan di telpon ber-kali2 sekalipun
juga, mereka tetap tidak mau  datang berkujung, bahkan tidak ada untuk meluangkan
waktu telepon.
Percuma kita menangis meng-gerung2 selama “3 hari 3 malam” pada saat
ditinggal mati oleh ayah atau ibu kita, tetapi pada saat mereka masih
hidup, kita tidak pernah punya waktu untuk mereka.
Percuma kita sembahyang di depan meja abu leluhur dengan
memberikan berbagai macam sesajen mulai dari “Sam Seng” sampai dengan  “Ngo Seng”
yang komplit, tetapi pada saat mereka hidup, tidak pernah sekalipun
juga kita punya waktu untuk mengundang mereka makan.
Oleh sebab itulah tepatlah apa yang diucapkan oleh Konfucius:
“Mendukung dan membantu orang tua tanpa hormat, seperti juga anjing2
dan kuda2, sebab mereka juga melakukan hal yang sama untuk membantu
dan mendukung. Tanpa rasa hormat mendalam apa bedanya kita manusia
dengan hewan2 tersebut.”
Dan selaraslah apa yang Alkitab maksudkan dan perintahkan untuk menghormati orang tua. Jadi sebagai orang Tionghoa, hormati lah orang tuamu selagi hidup karena itu kesempatan bagi kamu untuk berbakti dengan NYATA. Tuhan Yesus memberkati. (DK)