BAB
I.
PENDAHULUAN
Pemahaman akan etika tidak akan
terlepas dari pemahaman akan doktrin, bahkan etika adalah perwujudan dari
praktek doktrin itu sendiri. Verkuyl menuliskan bahwa Etika Kristen tidak dapat
terlepas dari dogmatika, bahkan etika termasuk dalam dogmatika.[1]
Bahkan Yesus ketika Ia berada di dalam dunia, Ia bukan hanya mengajarkan
tentang pengajaran doktrin saja, tetapi Yesus sendiri menerapkan doktrin
tersebut menjadi sebuah etika dalam kehidupan.
Yesus mengajarkan banyak hal yang menjadi teladan bagi umatNya, yang
melihat, mendengar, dan merasakannya, termasuk orang-orang Yahudi pada saat
itu. Pola pengajaran Yesus saat itu berasal dari hukum Musa (Taurat) yang berlandaskan kepada kehendak Allah.
Doktrin adalah sebuah pengajaran, doktrin
dapat dipahami sebagai sistem dari sebuah agama, atau aksi dan isi dari sebuah
ajaran. Misalkan doktrin Alkitab adalah sebuah aksi dan isi dari sebuah ajaran
yang bersumber dari Alkitab. Sedangkan Etika adalah berasal dari bahasa Yuhani ethos
yang diartikan sebagai suatu kebiasaan, adat.[2]
Jadi Etika
Kristen adalah sebuah kebiasaan atau adat yang bersumber dari pengajaran
Kristen.
Mengenai doktrin dan etika
Methodist, adalah suatu pengajaran yang diterapkan menjadi sebuah kebiasaan,
adat dalam kehidupan orang–orang Methodist. Tentunya sumber dari doktrin dan
etika yang berasal dari pengajaran John Wesley.
Dengan kata lain
justru Methodist lebih memberikan penekanan besar kepada etika dibandingkan
doktrin, tetapi bukan berarti doktrin tidak penting, Campbell menuliskan bahwa
: Methodist doctrine has consistently
included moral as well as theological affirmation, and methodist membership was based largely on ethical , not doctrinal,
test.[3]
John Wesley adalah seorang pendeta
gereja Anglikan di Inggris, yang mencetuskan suatu gerakan dengan nama
Methodist. Dalam gerakannya, John Wesley menekankan bagaimana sebuah pengalaman
iman menjadi sebuah perwujudan dari iman yang dimilikinya. Dan bagaimana iman
itu terwujud di dalam kehidupan.
John Wesley
memahami bahwa agama tidak akan berdampak jika tidak di jalani oleh orang-
orang dalam kehidupan mereka, ketika seseorang memungkinkan kehadiran
transformasi Allah dalam kehidupan mereka, dia akan menciptakan kembali orang
dari dalam keluar.
John Wesley
memahami bahwa agama dan ajarannya (doktrin) digambarkan sebagai “seseorang
yang berpaling keluar kepada orang lain”[4].
John Wesley menuliskan bahwa “Tidak ada kekudusan, namun kekudusan
sosial”, artinya agama yang berkembang
dari dalam hati akan merembes keluar ke setiap bidang kehidupan seseorang,
karena mereka menanggapi panggilan untuk saling mengasihi sebagaimana Allah
telah mengasihi mereka. [5]
Inilah inti dari doktrin dan etika
John Wesley, bahwa doktrin atau pengajaran sebuah agama, termasuk pengajaran
akan Alkitab, serta pemahaman akan pentingnya komunitas Kristen (termasuk
Methodis awal) membentuk individu yang mempengaruhi reformasi dan transformasi
sosial, mengubah masyarakat dalam tatanan dan prilaku sosial yang bersumber
dari dalam kehidupan ke-Kristenan.
Maka dari pemahaman akan doktrin dan
etika, termasuk di dalamnya prinsip-prinsip John Wesley, maka dalam tulisan ini
akan diuraikan bagaimana pergerakan John
Wesley dalam pengajarannya memberikan dampak bagi tatanan masyarakat Inggris pada
saat itu, dan sampai kepada bertumbuhnya Methodist masa kini di dalam dunia
ini.
BAB
II.
DOKTRIN
DAN ETIKA METHODIST
Momentum dari
roda pergerakan pelayanan John Wesley adalah berawal dari keraguannya akan
kepastian keselamatan, walaupun pada saat itu beliau adalah seorang pendeta
gereja Anglikan. Tetapi pertemuannya dengan orang-orang Jerman dari Morivia di daratan Eropa dalam perjalanannya menuju
Gorgia 14 Oktober 1735 telah mengubahkan kehidupannya. Ketenangan hati bangsa
Morivian dalam bahaya maut ketika kapalnya sudah terombang ambingkan oleh topan
membuat John Wesley menyadari berdasarkan dari jawaban sekelompok Morivian itu bahwa
ketenangan hatinya karena kepercayaan mereka akan Kristus.[6]
Kelanjutan
dari momentum ini, John Wesley mengalami kebimbangan yang sangat mendalam akan
kehidupan kerohaniannya ditambah lagi ketika John Wesley pada tanggal 21 Mei 1738 mendengar bahwa
adiknya Charles Wesley sudah menerima keselamatan dan kedamaian dalam jiwanya,
tapi John Wesley masih menanti-nantikan, maka pada tanggal 24 Mei 1738, dalam
peristiwa Aldersgate, ini adalah puncak perubahan John Wesley dalam memahami
tentang anugerah keselamatan dari Allah, ketenangan dan kedamaian dengan Tuhan.
[7]
Dan ini adalah momentum kedua John Wesley mengalami pembaharuan melalui peristiwa
Aldersgate.[8]
Dari
kedua melalui momentum di atas, bukan hanya pribadinya, tetapi pelayanannya,
pengajarannya mengalami suatu perubahan ke arah pergerakan yang akhirnya
menjadi pergerakan Methodist, cikal bakal dari Gereja Methodist.
II.1.
John Wesley dalam transformasi pengajaran doktrinal dan
pengajaran etika kehidupan pada jamannya.
Perubahan
paradigma dan terutama didasari akan pertobatan, membawa kepada perubahan cara
memandang pelayanan dalam lingkup yang lebih luas. John Wesley ketika itu pun
mengalami hal yang sama, ketika beliau melihat kondisi pelayanan Gereja
Anglikan yang eklusif bagi kalangan bangsawan dan kerajaan (kaum feodal), maka
beliau lebih memilih untuk memperhatikan
dan melayani kaum menengah ke bawah yang
adalah para buruh dan pekerja kasar yang tidak tersentuh dengan optimal oleh pelayanan gereja Anglikan.
Oleh karena itu,
John Wesley lebih mengarahkan pandangan pelayanan kepada jiwa- jiwa yang harus
diselamatkan dari golongan tersebut, pelayanan John Wesley berkembang,
menjangkau setiap lapisan masyarakat, terutama lapisan masyarakat kelas bahwa
yang pada saat itu terabaikan oleh gereja Anglikan.[9]
Pergerakan Methodist awal, yang
dimotori oleh John Wesley menarik minat masyarakat saat itu. Bahkan yang pada
mulanya John Wesley ragu apakah berkhotbah kepada golongan menengah kebawah ditanah
lapang bertentangan dengan Injil, tetapi menyadari bahwa hasilnya sangat
efektif, maka John Wesley melanjutkan cara ini, ditambah lagi dengan cara pelayanan
kepada wilayah pelayanan sosial praktis. Seperti John Lunn dalam artikel nya
mengutip Marquardt, menuliskan:
Marguardt
begins by examining several areas of
John Wesley’s social praxis. The include slavery, economics and ethics, his
work on aid to the poor, prison reform,
and education. One of Wesley’s greatest strengths was his ability to organize.
The Methodist Societies were established to provide forums in which the member
s could help one another in living the Christian life, and in which they could
more effectively engage in social action.[10]
Khotbah-khotbah John Wesley menarik
minat masyarakat pada saat itu yang haus akan Firman Tuhan. Robert L. Tobing
dalam bukunya menuliskan bahwa :
“Dia tidak mengkhotbahkan doktrin atau pengajaran
yang baru, tapi dia menyampaikan kepada pendengarnya pengajaran-pengajaran
dasariah tetapi yang sudah lama dilupakan oleh gereja. Yaitu: Pentingnya iman
kepada Yesus Kristus untuk keselamatan, pengampunan dosa, pembenaran oleh
anugerah, kelahiran baru, kesucian hidup, dan kesaksian Roh.”[11]
Selain
itu, kepada pengikutnya (holy club)
pada awal pergerakan ini John Wesley mengajarkan bahwa semua orang yang
tergabung dalam club ini harus hidup suci dalam arti taat kepada
hukum-hukum Allah, teratur dan berdisiplin tinggi dalam hidup.[12]
Dan di dalam kegiatan Holy Club itu sendiri ada penelaahan Alkitab, diskusi,
perjamuan kudus setiap minggu, puasa sehari seminggu, dan melibatkan diri dalam
kegiatan sosial seperti menolong masyarakat terutama orang-orang miskin dan
melayani penjara-penjara dan lain sebagainya.[13]
Inilah
perwujudan dari penerapan doktrin yang diajarkan John Wesley dalam etika, atau
kata lainnya awal dari doktrin dan etika dipahami dan diterapkan dalam
pergerakan ke-Methodist-an. Bahkan dalam bukunya Pollock menjelaskan bahwa John
Wesley sangat menerapkan moralitas yang tinggi dan proses spiritual pada
gerakan Methodist awal.
Pollock
menuliskan “Wesley Puzzled how to ensure
that all Methodists could be kept to the high morality and unceasing spiritual
progress which are among the mark o Christ’s true disciples.”[14]
Theologia John Wesley (Baca: Doktrin
Methodist), itulah yang mendasari munculnya etika sosial Methodist. Bahkan John
Wesley menolak gagasan predistinasi, dengan alasan bahwa kematian penebusan
Kristus dan kebangkitanNya yang tersedia untuk semua orang, yang menyimpulkan
bahwa orang kaya tidak kaya karena pemilihan Allah dan orang miskin tidak
miskin karena penolakan Allah.[15]
Bahkan lebih
lanjut John Wesley memberikan pemahaman tentang pembenaran (Justification) yang tidak hanya bertujuan untuk percaya, tetapi
setiap inividu yang diproses dalam pembenaran diperbaharui dan proses penyucian
(Santification) pun
dimulai.[16]
Dan bagian
penting dari pengudusan adalah mengikuti teladan Kristus dan mengasihi sesama
seperti diri sendiri yang tujuannya adalah suatu pembaharuan yang menyeluruh
dari dalam orang percaya, dan pembaharuan masyarakat melalui tindakan orang
percaya.[17]
Dalam perwujudannya di masyarakat,
John Wesley menerapkan transformasi pengajaran dengan satu tujuan bahwa kasih
Allah yang dipahami oleh kelompok (Holy
Club) pada saat itu, menjadi
kasih Allah untuk Tuhan dan sesama.
Dia
tidak mendesak perubahan struktural dalam masyarakat maupun pemerintahan, atau mendesak adanya undang-undang
khusus. Karena Wesley percaya bahwa
kewenangan pemerintah berasal dari Allah dan bukan dari orang-orang. Bagi John
Wesley perubahan terjadi dalam tatanan masyarakat, jika orang percaya mengalami
transformasi kehidupan, karena bagi
beliau agama tidak berdampak, yang berdampak adalah bagaimana orang-orang
menjalani hidup mereka dari hari ke hari. Transformasi kehidupan dari
pengajaran yang diterapkan dalam kehidupan, memungkinkan transformasi Allah
hadir dalam kehidupan pribadi kepada masyarakat secara luas.
II.
2. Doktrin dan Etika John Wesley serta pengaruhnya
dalam transformasi kehidupan masyarakat Inggris secara luas.
Tatanan
kehidupan masyarakat Inggris pada masa John Wesley, sehubungan dengan sistem
pemerintahan monarki kerajaan dan pola kehidupan keagamaan yang didominasi oleh
gereja Anglikan sebagai gereja kerajaan memiliki pengaruh yang kuat dalam
mengawali gerakan pembaharuan John Wesley dalam kehidupan spiritualitas dan
keagamaan.
John Wesley di Inggris hidup di masa
terjadi adanya pembagian kelas ekonomi, yaitu bangsawan, kelas menengah, dan
kelas bawah. Ditambah lagi kesenjangan sosial yang terjadi pada saat itu antara
kelas bawah dan menengah, kesenjangan ini dipengarahui oleh sistem ekonomi
industry dan revolusi industry yang terjadi pada saat itu. Wesley melihat ketimpangan dalam kehidupan
masyarakat sosial di Inggris pada saat itu. Dimana ada sekelompok orang
memperkaya dirinya dan sebagian lain hidup dalam kemiskinan.[18]
Di
luar dari pengalaman iman pribadi John Wesley yang sudah dijelaskan dalam
bagian II.1., sebagai suatu sistem monarki Kerajaan, Inggris menerapkan sistem
pemerintahan yang absolut yang mempengaruhi sistem gereja Anglikan sebagai
gereja kerajaan. Oleh karena itu gerakan John Wesley boleh dikatakan gerakan
yang mendominasi perbedaan yang jelas antara pengaruh pelayanan gereja Anglikan
dalam lingkup para pembesar kerajaan dan para bangsawan, dan pengaruh gerakan
John Wesley yang menjangkau kalangan menengah ke bawah. Selain itu juga kehidupan beragama di Inggris
pada permulaan abad 18 sangat lemah, Inggris waktu itu sudah memperluas daerah
jajahannya di berbagai tempat didunia.
Di berbagai benua ada jajahan Inggris, yang menimbulkan masalah hutang
bagi Inggris untuk modal perang.[19]
Di samping itu moralitas orang-orang Inggris sangat rendah, kaum petinggi/ feodal memiliki etiket yang ketat tapi
penuh kemunafikan. Rakyat jelata yang tidak pernah ke gereja berperangai buruk,
hukum sangat keras, tapi prakteknya tidak jujur. [20]
Di sisi lain,
gerakan John Wesley juga dipengaruhi gerakan pietisme yang merebak di kalangan Eropa Barat yang lahir pada abad
17 sebagai reaksi yang bukan hanya atas gereja Anglikan, tetapi juga Lutheran
dan Calvinis (reformed) yang semakin
kaku, dingin, tidak bergairah dan kurang menghargai manusia sebagai pribadi.
Pada waktu itu umat merindukan sentuhan yang lebih mesra, spontan dan personal.[21]
Dan gerakan yang dilakukan John
Wesley menjawab kebutuhan akan penjangkauan kelas marginal[22]
tersebut. Sehingga melalui respon yang ada, gerakan yang dipelopori John Wesley
sangat cepat ditanggapi oleh masyarakat Inggris pada saat itu.
Melalui pengajarannya akan kesucian
hidup (Individual Holiness), dan
melalui penjangkauan atas kalangan marginal
serta melalui pembentukan kelompok-kelompok penelaahan Alkitab, membentuk suatu
komunitas hidup yang berdasarkan atas pengajaran John Wesley yang menekankan
akan pentingnya Individual holiness menjadi
Social Holinnes.
Seperti yang
dijelaskan Campbell bahwa komunitas Kristen inilah yang menekankan tentang
etika Methodist, karena komunitas ini tidak hanya berdoa dan belajar Alkitab :
One further
aspect o Methodist ethos within the Christian community was participation in
small groups , the first being Methodist “societies” which by the mind 1940s
had been subvided into more intimate “classes”. It is cricitally importantto
realize that these groups met not only for prayer and Bible study but
especially for the exercise of accountable discipleship. The preface general
rules explains the origins of these groups and place the ethical material o the
Rules in the context in which they were lived by Methodists.[23]
Inti pengajaran atau doktrin ini
yang dijelaskan dalam poin sebelumnya, yang menjadi dasar akan etika kehidupan
Methodist dalam perwujudannya di masyarakat yang membawa pembaharuan bagi
masyarakat Inggris, dimana pelayanan yang dulunya terabaikan oleh gereja
Anglikan, terwujud melalui gerakan John Wesley yang disebut akhirnya menjadi Methodist
sebagai sebuah gerakan saat itu.
II.2.A.
Pengajaran John Wesles dan bentuk pengajaran kepada orang-orang Inggris pada saat itu beserta dampaknya,
Gerakan Methodist sendiri, adalah
suatu kelompok yang awalnya adalah kelompok semacam penelahaan Alkitab yang
berkembang menjadi kelompok yang memperhatikan sesama. Memperdulikan sesama
sebagai wujud kasih Allah yang diajarkan dan teraplikasi melalui kehidupan
sehari-hari para pengikutnya. Atau dengan kata lain, John Wesley dia tidak
mengkhotbahkan doktrin atau pengajaran yang baru kepada para pendengarnya,
tetapi dia menyampaikan pengajaran-pengajaran
dasariah yang sudah lama dilupakan
gereja. Yaitu pentingnya iman kepada Yesus Kristus untuk keselamatan,
pengampunan dosa, pembenaran oleh anugerah, kelahiran baru, kesucian hidup dan
kesaksian roh.[24]
Perkumpulan-perkumpulan tersebut,
lebih lanjut, dipecah menjadi kelas-kelas rekanan dan kelompok-kelompok doa.
Organisasi rumit yang dicap Methodist ini membantu gerakan itu bertahan. Wesley
bersaudara tidak berniat berpisah dari Anglikan. Sesungguhnya mereka ingin
melihat pembaharuan berlangsung dari dalam gereja, perpecahan itu berlangsung
pelan. Ketika pada tahun 1784 John mempersiapkan kelanjutan Methodist setelah
kematiannya, Charles tidak menyetujui perpecahan itu. Meskipun berada di bawah
bayang-bayang kakaknya, Charles pun punya andil yang cukup besar dalam
Methodist. Ia sangat dikenal akan kidungnya, termasuk "O for a Thousand Tongues", "And
Can It Be?" dan "Hark the
Herald Angels Sing". Tidak seperti gereja Anglikan yang selalu terikat
pada Mazmur, dari awal para Methodist merupakan gerakan bernyanyi, sebagian
besar karena Charles yang berbakat dalam menyusun kata-kata. Methodist telah
mengubah masyarakat Inggris dengan perlahan.[25]
Meskipun setia pada status quo
politik, Methodist telah membangkitkan semangat liberal yang membawa Inggris ke
keadaan yang lebih baik. Banyak sejarawan memuji orang-orang Methodist karena
tidak memicu revolusi berdarah seperti yang dialami orang Perancis pada akhir
abad kedelapan belas. Inilah yang menghasilkan dampak dari doktrin atau
pengajaran John Wesley mempengaruhi etika kehidupan Inggris pada saat itu.
Etika pengajaran John Wesley dalam
pekumpulan-perkumpulan di dasari dalam bentuk pengajarannya yang memberikan
arah baru dalam yang berbeda dengan ajaran pembaharuan reformed dan juga berbeda
dengan Armenian klasik. Ajaran John
Wesley yang berdampak kepada masyarakat Inggris secara luas didasari akan
pengajaran tentang dosa asal (original
sin),[26]
dan pentingnya kasih karunia yang tidak berkesudahan (salvation).
Ajaran ini berbeda
dengan ajaran yang sudah ada, John Wesley memberikan pemahaman bahwa orang yang
sudah memiliki Roh Kudus berkemampuan untuk memberikan respon kepada Allah. Wesley
menolak konsep kaum pembaharuan mengenai pilihan (election). Jadi ia
menggabungkan ajaran kaum pembaharuan tentang keberdosaan manusia secara total
dengan keutamaan kasih karunia dari Armineanisme yang membela kehendak bebas
manusia (human freedom), dan kewajiban moral.[27]
Oleh
karena itu, jika kita mengamati bentuk ajaran John Wesley, terutama berkenaan
dengan kewajiban moral sebagai perwujudan dari kehidupan orang percaya, maka
ini sangat membuktikan bahwa ajaran ini mendukung dengan berhasilnya gerakan
Methodist mempengaruhi transformasi di Inggris secara luas.
II.3.
Doktrin dan etika Methodist dan penerapannya dalam konteks Methodist pada masa
kini dalam Gereja Methodist Indonesia
Berbeda
jaman berbeda keadaan, berbeda daerah berbeda kebudayaan, berbeda tantangan dan
masalah berbeda penanganan, konsep inilah yang sering dipakai dalam memandang
kontekstualitas suatu doktrin dalam penerapannya. Bagaimanakah dengan doktrin
dan etika John Wesley dalam penerapannya pada masa kini dan implikasinya. Ini
yang akan dijabarkan dalam bagian ini.
Jika
dalam konteks John Wesley, termasuk Charles Wesley maupun rekan-rekan sekerja
mereka seperti Francis Asbury dan George Whitefield lahir dalam masyarakat
majemuk di Inggris. Yang dimaksud dalam masyarakat majemuk di Inggris adalah
kemajemukan di bidang : Suku bangsa. Inggris terdiri dari suku bangsa
Anglo-Saxon, Scotlandia, Celtik dan Irlandia bahkan termasuk orang-orang Yahudi,
Agama yang resmi diakui pada masa John Wesley adalah Agama Kristen aliran
Anglican, gereja dimana Wesley bersaudara adalah pendetanya. Tetapi juga
kelompok Calvinis (Kaum Puritan) juga cukup kuat, ada juga Roma Katolik,
Baptis, Yahudi bahkan Unitarian (pengikut Arius yang menolak Yesus Kristus adalah
Allah), serta Deis (mengajarkan Allah tidak ikut campur di dunia tetapi hanya
memberikan hukum alam dan hukum moral).
Secara
politik, John Wesley seorang pengikut setia partai Torry yang pro-raja. Namun
pengikut John Wesley yang setia tidak otomatis adalah para pendukung Partai
Torry yang pro Raja juga. Dengan kata lain Wesley bersaudara bukanlah orang
asing terhadap keragaman yang ada dalam masyarakat, karena di satu sisi
walaupun agama Kristen adalah dominan di Inggris pada waktu itu, ia terpecah
menjadi berbagai aliran yang masing-masing memandang dirinya yang paling benar
dan aliran lain adalah sempalan.
Gereja Inggris (Anglikan)
sebagai Gereja Negara memiliki keuntungan berupa pengakuan sebagai satu-satunya
agama resmi di Inggris. Hal ini juga yang menyebabkan kata Gereja (Church) hanya boleh digunakan untuk
menyebut bangunan Gereja Anglikan, sedangkan aliran lain termasuk Perkumpulan
Methodist (Methodist Society) waktu
itu menyebut bangunan tempat ibadah mereka sebagai Kapel (Chapel) walaupun bentuk bangunannya megah.
Sejak masa mudanya Pdt. Samuel
Wesley, ayah John Wesley menginginkan agar puteranya John menggantikan dia
melayani di tempat pelayanannya, namun John Wesley menginginkan menjadi seorang
misionaris. Sejak masa kuliahnya di Oxford John telah berkenalan dengan
buku-buku yang mengajarkan untuk hidup kudus seperti dari buku karangan William
Law yang Calvinis maupun Thomas Kempis seorang rahib Roma Katolik. Selama di
Oxford juga terbentuklah kelompok studi yang mengalami kemajuan pesat dibawah
pimpinan John Wesley yang dikenal dengan nama “Methodist” karena kedisiplinan
mereka atau keteraturan mereka (“method’
– teratur, memakai metode). Bagi John, kesempatan untuk dapat hidup kudus
terutama didapat dengan menjadi seorang misionaris untuk menginjili suku-suku
Indian di Amerika yang masih “murni”. Dalam hal ini John terpengaruh semangat
zamannya yang memandang suku-suku “primitif” sebagai manusia-manusia yang tidak
serakah seperti manusia Barat ataupun “dunia beradab” dengan agama-agama besar
lainnya, hal ini misalnya tercermin dalam novel Voltaire yang berjudul “Si
Lugu”. John Wesley yakin ia dapat menginjili orang-orang ini dan membentuk
suatu masyarakat yang hidup kudus seperti “primitive
Christians” (orang-orang Kristen mula-mula) yang ia idealkan. Kerinduan
John untuk menginjili juga berkaitan dengan pemahaman yang ia anut pada waktu
itu bahwa keselamatan harus diraih melalui perbuatan baik bagi orang Kristen.
Setelah terjun
dan berjumpa langsung dengan orang-orang Indian Amerika di Georgia Wesley membuang
pandangan sangat positifnya terhadap agama suku (Indian) yang ternyata
pendapatnya itu dipengaruhi semangat Deisme (paham yang mengatakan Allah tidak
turut serta mengatur dunia setelah menciptakan dunia dan memberi hukum alam).
Bahkan Wesley menyebut agama suku (Indian) yang ia terima sebagai bersifat
kuasa gelap.[28]
Tetapi misi tersebut membuatnya
bimbang, Wesley masih diliputi keraguan, dalam buku hariannya dia menuliskan
“Sekarang sudah hampir dua tahun empat bulan sejak saya tinggalkan tanah air
ini untuk mengajar orang-orang Indian di Georgia tentang apa itu Ke Kristenan.
Tetapi apa yang saya lakukan selama ini? kenapa saya pergi ke Amerika untuk
membuat orang lain bertobat, saya sendiri belum bertobat kepada Tuhan?”.[29]
Kesimpulan
yang dapat kita ambil terhadap masa pelayanan Wesley sebagai misionaris yang
diutus ke Georgia adalah John Wesley walau merasa gagal sebagai seorang
misionaris, gagal melihat “kemurnian” orang Indian sebagai bangsa primitif yang
murni sesuai anggapan umum masa itu, namun “berhasil” meyakinkan dirinya
sendiri akan pentingnya berita Injil Kristus disampaikan kepada orang-orang
yang semuanya telah jatuh ke dalam kuasa dosa. Dengan membandingkan kehidupan
orang-orang kafir (terutama suku Indian di Georgia) dengan kehidupan
orang-orang Eropa yang sudah Kristen,
John
Wesley menyadari perlunya orang-orang Eropa ini dikristenkan kembali dalam arti
orang-orang Kristen harus belajar bertumbuh dalam disiplin rohani untuk menjadi
orang Kristen yang sesungguhnya. Inilah sesungguhnya konsep yang dimiliki John
Wesley dalam pelayanannya sehingga ia kembali ke Inggris dan memulai
pergerakannya.
Seperti
di awal bagian ini, bahwa beda jaman metode dapat berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan zaman namun inti keyakinan tetapi sama seperti manusia yang
memakai baju bergonta-ganti sesuai mode atau trend namun tetap tidak membuatnya
menjadi makhluk asing.
Teologi
Methodist atau Wesleyan pada awalnya lebih terpusat pada satu orang yakni John Wesley,
walau ada orang-orang lain disekitar yang juga berpengaruh seperti Charles,
Fletcher, Coke, Asbury, Whitefield hingga generasi kedua awal seperti Adam
Clarke.
Namun dengan
sistem yang dibangun oleh John yang akhirnya kita kenal sebagai Konferensi Tahunan
dan Konferensi Agung, kita diingatkan bahwa keputusan yang diambil adalah
tanggungjawab bersama dan harus dipertanggungjawabkan. Karenanya tidaklah mudah
sebenarnya bagi orang Methodist untuk merubah dan melenceng dari dasar yang
telah ditetapkan semenjak masa John Wesley apalagi dari dasar yang diletakkan
para Rasul Kristus mula-mula. Sehingga
dalam pelaksanaan nya gereja Methodist seharusnya bisa tetap berada pada jalurnya, dalam menerapkan
pengajaran John Wesley di kehidupan jemaat Methodist termasuk dalam
masalah-masalah kehidupan yang dialami.
Masalah-masalah yang berhubungan
dengan etika yang dihadapi gereja pada masa kini semakin kompleks. Masalah yang
berhubungan dengan “uang” (baca: Korupsi dan lain sebagainya), sudah merambah
masuk ke dalam sistem pelayanan sekalipun. Masalah i-moralitas, seperti
poligami, seksualitas berkenaan dengan homoseksual, dan lesbian, masalah
transgender, dan lain sebagainya.[30]
Juga masalah-masalah yang berhubungan dengan masyarakat serta tatanan hidup di
dalamnya seperti kemiskinan yang tentunya bersangkut paut erat dengan kehidupan
sosial secara umum, seperti kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Jika
kita memandang ini adalah masalah masyarakat, tentunya ini adalah masalah bagi
gereja juga, karena gereja ada dalam masyarakat dan jemaat adalah bagian dari
masyarakat secara luas.
Bagaimana
gereja secara khusus methodist mengamati serta campur tangan dalam hal ini
sebagai pengejawantahan atau perwujudan dari teladan mula-mula dari
pergerakan John Wesley di Inggris yang memperhatikan kaum menengah ke bawah (marginal).
Mengambil
contoh tentang korupsi (berbicara tentang uang), John Wesley sudah mengajarkan
dalam pengajarannya seperti : “Berilah sebanyak banyaknya”, dan tentunya untuk
memberi sebanyak-banyaknya kita perlu memperoleh sebanyak mungkin ( Gail all you can-peroleh sebanyak-banyaknya)
tentunya dengan memperoleh secara benar, hal ini berkaitan dengan cara hidup,
John Wesley juga mengajarkan agar tidak boros dan secara tidak bertanggung
jawab menghambur-hamburkan apa yang diperoleh. Itu sebabnya John Wesley
mengatakan “Save all you can”.
Pengertian save disini bukan berarti
menabung, arti yang tepat ialah “berhemat”.[31]
Jika kita
mengamati ajaran dari John Wesley ini, maka ini mengajarkan bagaimana kita mengatur
uang, mengatur berkat atau pendapatan yang kita peroleh. Memberi sebanyak-
banyaknya untuk keperluan orang yang membutuhkan.
Mengutip
Campbell menjelaskan hal yang sama tentang hal ini: “Manny Methodists aware of John Wesley’s sermon on “The use of money”,
in which he encouraged Methodist to “gain all you can”, “save all you can”, and
“give all you can”.[32]
Dan tentang permasalahan etika yang
lain yang menyangkut permasalahan masa kini, yaitu yang menyangkut personal morality yang sangat penting dalam etika Methodist
adalah pernyataan doktrin yang berkenaan, selain mengenai moral seksual,
pernikahan kembali dalam status penerimaan dalam pemerintahan gereja.
Dalam personal morality methodist berfokus pada pedoman general rules seperti salah satu contohnya
adalah tentang personal morality yang sederhana mengenai cara berpakaian di kutip dari Campbell:
Yet another area
of personal morality with which Methodists were concerned had to do with the
manner in which one dressed. Thus, the General Rules forbid “what we know is not for the glory og God, as: The putting on the
gold and costly apparel.” Methodists emphasized simplicity of dress not
only because dress might be sexually,
suggestive but also because the
considered ornate dress to be an entance o improper stewardship, that is,an
abuse o property. Thus along with extravagance is dress the general rules also
forbid “softness and needless self-indulgance”. [33]
Dan berbagai hal lainnya yang menyangkut tentang kehidupan
Kristen termasuk di dalamnya hal hal mengenai etika kehidupan dalam jemaat .
Sebenarnya Gereja Methodist, khususnya Gereja Methodist Indonesia sudah
memiliki aturan yang dikenal dengan “Etika kehidupan orang Methodist” yang di dalamnya
mengatur hubungan dan aturan serta konsekuensi yang ada. Konsekuensinya seperti
dikutip dalam “Etika Kehidupan orang Methodist” seperti demikian:
“Jika salah seorang diantara kita
tidak mematuhinya atau dengan sengaja melanggar salah satu diantaranya,
haruslah soal itu diberitahukan kepada Pimpinan Jemaat, sehingga mereka
mengerti bahwa orang yang berbuat salah
itu dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Jemaat tersebut. Kita memberikan
kesempatan kepadanya untuk menyadari kesalahannya. Tetapi jika dia tidak bertobat
atau berubah, maka dikeluarkan dari persekutuan. Hal ini berarti kita telah
melepaskan diri dari pertanggung jawaban terhadap orang tersebut.[34]
Oleh
karena itu di tengah tantangan kehidupan orang percaya dalam Gereja Methodist
Indonesia, seharusnya gereja, secara khusus hamba-hamba Tuhan kembali kepada
prinsip John Wesley, menerapkan pengajaran yang seimbang dengan pengajaran
etika (Methodist). Seperti konsep John
Wesley dalam uraian diatas kepada orang orang Eropa : “John Wesley menyadari
perlunya orang-orang Eropa ini dikristenkan kembali dalam arti orang-orang
Kristen harus belajar bertumbuh dalam disiplin rohani untuk menjadi orang
Kristen yang sesungguhnya. Inilah sesungguhnya konsep yang dimiliki John Wesley
dalam pelayanannya sehingga ia kembali ke Inggris dan memulai pergerakannya.”
Inilah
kunci dari penerapan doktrin dan etika (pengajaran dogma dan etika) yang harus
diterapkan dalam Gereja Methodist Indonesia ditengah tengah tantangan yang ada,
yaitu meng-Kristen-kan kembali, dalam konsep yang sama yaitu, harus membuat
orang Kristen (baca: Jemaat Methodist), bertumbuh dalam disiplin rohani untuk menjadi Kristen
yang sesungguhnya. Dan inilah tugas Gereja Methodist Indonesia yang utama,
sehingga dengan “menjadi Kristen yang sesungguhnya”, etika kehidupan orang
Methodist akan terlihat dan disaksikan oleh orang banyak, menjadi teladan dan
menjadi berkat bagi kehidupan banyak orang.
BAB
III
PENUTUP
Doktrin
dan Etika khususnya dalam Methodist, keduanya menjadi hal yang utama dalam kehidupan
pelayanan dalam pergerakan Methodist yang dipelopori oleh John Wesley.
Jika
kembali kita memahami dan memberikan perhatian (concern) akan pemahaman diatas, maka seharusnya pergerakan
Methodist dari awal mula, bahkan sampai saat ini seharusnya tetap membawa transformasi
bagi dunia melalui pengajaran doktrin dan etika yang diajarkan serta diterapkan
dalam kehidupan masyarakat.
Menjadi
pergumulan dan pertanyaannya, apakah saat ini warga gereja Methodist, secara
khusus Gereja Methodist Indonesia benar-benar menerapkan apa yang John Wesley
lakukan dalam pergerakannya, mengajarkan doktrin, dan menerapkannya dalam
kehidupan menjadi sebuah etika.
Beberapa
hal kesimpulan dari uraian ini:
1. Pergerakan
John Wesley dapat meluas dan mentransformasi masyarakat Inggris pada saat itu,
karena John Wesley menekankan etika dalam pergerakannya yang dipahami
berdasarkan doktrin / pengajaran yang diajarkannya.
2. John
Wesley menekankan perubahan dan memberikan perhatian kepada masalah- masalah
masyarakat Inggris pada saat itu yang diabaikan kerajaan dan gereja (Anglikan),
penekanannya pada perubahan hidup. Ini yang menjadi kekuatan pergerakan
methodist.
3. Methodist
saat ini (termasuk Gereja Methodist Indonesia) yang tentunya merindukan
transformasi gereja, seharusnya menekankan hal yang sama seperti yang John
Wesley tekankan dalam pergerakannya penekanannya bukan hanya pada doktrin
semata, tetapi bagaimana etika kehidupan itu dapat diterapkan dan membawa
transformasi bagi lingkungan sekitar, kehidupan sekitar, masyarakat sekitar dan
dunia secara luas. Sehingga dengan demikian gereja dapat bertumbuh dan menjadi
berkat bagi sesama.
[1] J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2002), 17
[2] Ibid, 1
[3] Ted Campbell, Methodist Doctrine The Essential, ( Nashvile; Abingdon Press,
2011), 95
[4] John
Wesley mewujudkan pesan Pdt, Samuel Wesley tentang the inward Witness, kesaksian dari dalam, itu bukti yang terkuat
dari ke-Kristenan. Band. Robert L. Tobing, John
Wesley dan pokok- pokok penting pengajarannya, (Medan; Cipta Sarana
Mandiri, 2005), 14
[5] Dennis Bratcher, John Wesley and “heart religion”, (http://www.crivoice.org/holyliving.html)
di akses 7 April 2015.
[6] Robert L. Tobing, John Wesley dan pokok-pokok penting pengajarannya, (Medan; Cipta
Sarana Mandiri, 2005), 16-17.
[8] Band. John Pollock, Wesley The Preacher, (Eastbourne; Kingway Publication, 1989), 97-99
[9] Sebelum Aldersgate, Wesley lebih
berfokus pada pekerjaan baik sebagai
sarana untuk keselamatan, dan perbuatan baik adalah hasil dari keselamatan.
Paska Aldersgate setidaknya John Wesley menekankan prioritas pembenaran oleh
iman. (Post note)
[11] Robert, L. Tobing, John Wesley…, 137
[12] Inilah cikal bakal pergerakan John Wesley
dalam keseimbangan pengajaran doktrin
dan etika yang di terapkan dalam pergerakannya. (Pos note), Band.
Robert, L. Tobing, John Wesley…, 137;
Band. Tedd Campbell, Methodist Doctrine…, 98-99
[13] Dinson Saragih, Amos dan John Wesley dalam praksis sosial, (Artikel dalam buku
Kenangan REALITAS I, Komitment Pelayanan
di tengah komunitas masyarakat plural, (Medan, REALITAS I, 2007), 21
[14] John Pollock, Wesley The…, 164
[15] Band.
Kenneth J Collins, The Theology of John
Wesley “Holy Love and the Shape of
Grace”, (Nashville; Abingdon Press, 2007), 73,74,77.
[16] Bandingkan Justification; Santification : Ibid, 170-171; 287
[17] Seperti dituliskan Pdt.Manimpan Hutasoit dalam artikel
Spritual Wesleyan, beliau menuliskan
bahwa kesucian hati heart holiness
dan kesucian hidup life holiness yang memberikan perhatian kepada sarana anugerah,
dan sarana anugerah tersebut kemudian dijadikan general rules (pedoman hidup orang percaya). Band. Manimpan Hutasoit, Pdt, Spiritual Wesleyan , (Bandar Baru;
Artikel Ceramah Pembinaan Masa Percobaan Pendeta, BPLPJ), 5
[18] Sahat M. Lumban Tobing, Model Kepemimpinan Episkopal, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2003), 18
[20] Robert
L. Tobing, John Wesley dan pokok-pokok…, 105
20------------,Gereja Methodist.(https://profilgereja.wordpress.com/denominasi-gereja/revival/methodist/#awal),
di akses 15 April 2015.
[22]
Marginal yang dimaksud disini adalah masyarakat Inggris dari kalangan menengah
kebawah, kaum buruh tambang, kaum masyarakat miskin, dan masyarakat biasa.
[24] Robert L. Tobing, John Wesley dan pokok-pokok…, 137
[25] ______________, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (www.sarapanpagi.org/100-peristiwa-penting-dalam-sejarah-kristen-vt15),
di akses 16 Maret 2015
[26] Kenneth J Collins, The Theology of John Wesley “Holy….,
66
[27] Band. Mack B. Stokes, Pokok-pokok Kepercayaan Methodist, (Singapore; WCRD Publisher and Books,
2014), 18
[28] Samuel
Hutagalung, Kasihilah sesamamu; Misi Methodist dalam masyarakat majemuk
(artikel untuk penerbitan tulisan pendeta guru Injil distrik Kep. Riau tahun
2013) (https://www.facebook.com/gmisionjakarta/posts/578258832263826),
di akses 21 April 2015
[29] Robert
L. Tobing, John Wesley dan pokok-pokok…, 23
[30] Kho Ho
Peng, Application o John Wesley Holiness
Theology in the 21st Century; Holiness as Purity, (Medan; dalam
makalah seminar, November 2013).
[31] Robert L. Tobing, John Wesley dan pokok-pokok…,147-148
[32] Ted A. Campbell, Methodist Doctrine the …,
102
[33] Ibid, 102
[34] ________________, Etika Kehidupan orang Methodist, (Medan; dikutip dari Almanak GMI,
2015), xiv