Dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 21 Juni 2008 Sosialisasi Politik yang MenyesatkanOleh Victor Silaen Di bidang politik, tak dapat disangkal bahwa Indonesia pasca-Soeharto telah mengalami banyak perubahan. Proses reformasi dan demokratisasi yang tahun ini genap memasuki usia sepuluh tahun kian menjadikan Indonesia sebentuk negara modern, yang di dalamnya setiap warga negara dapat menikmati kebebasannya untuk berpartisipasi politik. Hal ini tentu patut disyukuri, karena partisipasi politik rakyat yang tinggi niscaya mereduksi kesewenang-wenangan para penyelenggara negara dalam membuat maupun melaksanakan kebijakan publik. Namun, tingginya partisipasi politik di satu sisi idealnya diikuti dengan sosialisasi politik yang intensif, benar dan baik di sisi yang lain. Agar dengan demikian, terjadi perimbangan sinergis yang niscaya membuat politik Indonesia kian modern sekaligus tetap berada di jalurnya.Sosialisasi politik itu sendiri dapat diartikan sebagai proses penanaman nilai, pengetahuan, dan orientasi politik kepada seluruh warga negara. Ia harus dilakukan secara intensif, dalam arti setiap saat dan berkesinambungan. Di sinilah pers berperan penting sebagai "penyambung lidah" para agen sosialisasi politik. Tak terbayang bagaimana rasanya jika sehari terlewat tanpa pers. Kita bisa terlambat mendapatkan pengetahuan tentang apa yang terjadi, isu apa yang mencuat ke publik, kebijakan apa yang disahkan, dan pelbagai hal lain dalam kaitannya dengan proses politik yang terus-menerus bergulir.Sosialisasi politik juga harus berjalan secara benar, dalam arti semua nilai, pengetahuan, dan orientasi politik yang diinternalisasikan kepada seluruh warga negara jangan sampai menyesatkan atau menyimpang dari hakikat keindonesiaan sesuai dasar negara dan konstitusi. Sedangkan sosialisasi politik yang baik, itu berarti upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka itu haruslah bersifat dialogis dan bukan indoktriner seperti yang terjadi di era Orde Baru.Lalu, siapakah yang menjadi agen-agen sosialisasi politik itu? Siapa saja bisa, entah para penyelenggara negara, lembaga-lembaga kuasi-negara, partai politik, maupun orang-orang biasa.
Namun, dikarenakan budaya masyarakat Indonesia yang masih bercorak bapakisme, maka umumnya rakyat lebih mendengar apa kata para pemimpin, elit politik, dan mereka yang dianggap sebagai tokoh masyarakat.Dalam kaitan itulah saya ingin mengingatkan siapa pun, yang oleh pers dijadikan "news maker" karena seringnya dimintai komentar maupun pendapat, agar bijak dan berhati-hati. Sebab, apa pun yang mereka katakan bukan tak mungkin dijadikan acuan kebenaran oleh masyarakat luas. Dengan kata lain, apa yang bersumber dari mereka secara langsung maupun tidak langsung bisa saja menjadi sosialisasi politik. Kalau benar, itu bagus. Tapi kalau tidak, bukankah itu bisa berdampak negatif bagi masyarakat?Ada dua contoh kasus yang ingin saya kemukakan dalam kaitan itu. Pertama, apa yang dikatakan Dr Eggi Sudjana SH, M.Si, dalam talkshow di salah satu stasiun teve swasta pasca-SKB Ahmadiyah. Saat itu Eggi mengatakan, dasar negara Indonesia bukanlah Pancasila. Ia mengacu pada Pasal 29 UUD 45 ayat 1 yang menyebutkan: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Menurut Eggi, Tuhan yang dimaksud itu Allah SWT, yang karena itu merujuk pada Islam. Benarkah demikian?Jelas tidak. Karena, ayat 1 tersebut harus disandingkan dengan ayat 2 yang menyebutkan: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu." Jadi, jelas tidak boleh ada monopoli tafsir tentang "ketuhanan" dalam konteks ini.Memang, rumusan Pancasila versi Piagam Jakarta (yang menyebut-nyebut syariat Islam) pernah diusulkan menjadi dasar negara sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Namun, bukankah jelas bahwa akhirnya Pancasila yang disahkan sebagai dasar negara Indonesia pada 18 Agustus 1945 dan berlaku sampai sekarang adalah Pancasila yang netral-agama? Dan Pancasila itu sendiri tidaklah terdiri atas satu sila saja, melainkan lima. Jadi, bukan hanya soal ketuhanan yang penting, tetapi juga kemanusiaan, persatuan, keadilan, dan kerakyatan. Semua konsep penting itu saling terkait dan tak terpisahkan, menjadi dasar negara Indonesia. Jadi, mengapa harus dibelokkan dengan mengatakan bahwa negara Indonesia berdasar ketuhanan?Adalah sebuah kesalahan fatal jika menganggap Indonesia adalah negara agama atau negara berdasarkan agama. Sebagai bangsa pun, keanekaragaman sudah menjadi ciri Indonesia sejak dulu. Inilah anugerah yang bukan saja harus disadari, tetapi juga disyukuri dan dirawat terus-menerus oleh seluruh warga negara Indonesia.Contoh kedua adalah apa yang dikatakan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni di saat rapat kerja tentang SKB Ahmadiyah di Komisi VIII DPR, 12 Juni lalu. Saat itu, menanggapi anggota dewan dari Fraksi PDS Tiurlan Hutagaol yang berbicara sebelumnya, Maftuh meminta kelompok nonmuslim untuk tidak mencampuri masalah Ahmadiyah. Sebab, menurut Maftuh, orang di luar Islam tidak memahami masalah sebenarnya.Inilah yang patut kita sesalkan. Pertama, karena persoalan Ahmadiyah seharusnya dipandang sebagai persoalan bersama dalam kaitannya dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin konstitusi. Atas dasar itulah kita mengkritik pihak-pihak yang berupaya mempersempit ruang-lingkup persoalan ini sehingga menjadi eksklusif.Kedua, apakah Maftuh berbicara dalam kapasitasnya sebagai seorang pejabat tinggi negara atau sebagai seorang muslim? Dengan siapakah Maftuh mengadakan raker saat itu, dengan kelompok muslim atau dengan anggota dewan yang mewakili rakyat Indonesia yang bermacam-macam agamanya? Sungguh mengherankan mengapa seorang menteri, yang mestinya mampu bersikap dan berpikir sebagaimana layaknya seorang negarawan, sampai mengeluarkan pernyataan yang parsialistik seperti itu. Tidak sadarkah Maftuh bahwa ia berada di kabinet, dan memimpin sebuah departemen, dalam kapasitasnya sebagai salah satu pemimpin pemerintahan dan bukan sebagai pemimpin umat?Apa boleh buat, kita harus mengingatkan para pemimpin agar tak henti-hentinya belajar sehingga tidak berparadigma naif dan berpolapikir parsialistik. Para pemimpin seharusnya mampu memerankan diri sebagai negarawan sejati dengan etika kenegarawanan (the ethic of statemanship) yang benar. Setidaknya hal itu niscaya terpancar di dalam dua hal ini: selalu merasa diri sebagai pemimpin bagi semua warga negara Indonesia dan pelayan bagi semua warga negara Indonesia. Dengan demikianlah mereka niscaya dapat menjadi panutan yang baik bagi rakyat. Sehingga, rakyat pun niscaya memiliki kemampuan bertoleransi di tengah masyarakat yang majemuk. Rakyat niscaya juga memiliki etika sebagai warga negara (the ethic of citizenship) yang benar, yang di tengah kehidupan bermasyarakat mampu memandang sesama warga negara Indonesia sebagai saudara sebangsa dan setanahair, dan bukan sebagai sesama seagama.Kembali pada sosialisasi politik, ihwal Pancasila agaknya memang masih harus disosialisasikan secara intensif. Agar kita semua betul-betul menyadari bahwa Pancasila adalah dasar negara kita, yang berarti harus dijadikan acuan dan pedoman utama di dalam kehidupan bernegara. Pancasila adalah juga ideologi kita, yang karena itu harus mewarnai seluruh falsafah hidup kita sebagai warga negara Indonesia. Memang, ideologi-ideologi lain boleh saja ada, namun dalam konteks kehidupan bernegara dan sebagai warga negara,
Pancasila haruslah mengatasi ideologi-ideologi yang lain itu.
No comments:
Post a Comment