BAB
I.
PENDAHULUAN
Dalam
organisasi dan dalam pelayanan gerejawi keberhasilan suatu pelayanan gerejawi
tidak hanya tergantung kepada suatu individu atau kelompok, tetapi bagaimana
suatu komponen pelayan[1]
dalam gereja dapat bekerja sama dan sama-sama bekerja dalam mengembangkan
pelayanan dan tentunya dalam koridor tanggung jawab dan peranan masing masing
yang dipercayakan dalam bagian pelayanannya.
Tulisan
ini akan membahas lebih mendetail tentang kemitraan antara pimpinan jemaat
(pendeta) dan majelis dalam lingkup Gereja Methodist Indonesia yang notabene nya gereja dengan ke-khas-an sistem episkopal (di Indonesia, GMI
dengan sistem episkopal koneksional) yang diatur dalam sebuah aturan yang
terdapat dalam Disiplin Gereja Methodist Indonesia.[2]
Kemitraan
yang bertujuan untuk memahami akan pentingnya keteraturan dan kerja sama dalam
suatu pelayanan gerejawi demi mencapai keharmonisan pelayanan suatu gereja yang
bertujuan untuk memuliakan Allah.[3]Oleh
karena itu, dalam tulisan ini lebih memfokuskan kepada kemitraan dalam
organisasi dan kemitraan dalam pelayanan bersama antara pimpinan jemaat
(pendeta) dan majelis.
Kemitraan
dalam gereja antara pimpinan jemaat (Pendeta) dengan majelis sangat penting, di
satu sisi pimpinan jemaat (pendeta) adalah hamba Tuhan, pelayanan Tuhan yang di
pilih Tuhan untuk menjadi seorang ‘gembala”, salah satu dari rahasia keindahan
dari panggilan “gembala” sebagai sebuah gelar adalah terletak dalam hal ini,
istilah gembala merujuk langsung kepada Kristus sendiri. Dalam budaya Ibrani, gembala
itu telah dijadikan sebuah ibarat penjaga domba yang dipercayakan, memiliki
tanggung jawab.[4]
Dalam tugas lainnya, yang sangat penting, seorang pimpinan jemaat (pendeta)
juga adalah seorang pemimpin rohani, yang bersangkut paut dalam jalannya suatu
kepemimpinan dalam gereja. Jika
dibandingkan definisi kepemimpinan dalam perjanjian lama juga bersumber dari
pemahaman tentang gembala, yaitu metafora dari kata Ro’eh yang diterjemahkan sebagai shepherd leadership yang
artinya pemimpin sebagai gembala, yang artinya sebagai raja, imam dan nabi yang
bertugas memelihara dan memberi makan
umatnya.[5]
Bandingkan juga dengan istilah dalam
perjanjian baru poimen metafora untuk Yesus sebagai gembala yang
baik.[6]
Ini
berarti seorang pimpinan jemaat
(Pendeta) adalah seorang yang mampu memimpin, memerintah, mengatur, dan
memiliki wibawa dan wewenang yang berasal dari kasih Kristus.
Di
sisi lain, mitra dari pimpinan jemaat (pendeta), yaitu majelis adalah orang-orang
percaya yang sudah menjadi warga gereja, dipilih, diteguhkan untuk memangku tugas dan jabatan gerejawi .
Dan tidak ada seorang pun warga gereja yang dapat menjadi majelis gereja tanpa
dikehendaki oleh Allah dengan perantaraan dipilih, dipanggil, dan diteguhkan. Dan tentunya dengan fungsi untuk mewujudkan
kebijaksanaan dan pelayanan gereja dengan ketentuan yang diatur dalam aturan
atau tata gereja yang berlaku[7]
(dalam hal ini GMI adalah Disiplin GMI yang berlaku).
Melalui
pemahaman dari dua jabatan ini, yaitu pimpinan jemaat (pendeta), dan majelis,
dapat di pahami bahwa keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama.
Yaitu mewujudkan kebijaksanaan gereja atau tugas gereja dalam panggilan gereja
di dunia ini, dengan wibawa, wewenang dan kuasa yang berasal dari kasih
Kristus, dan didasarkan pada aturan atau tata gereja yang berlaku.
BAB
II
KEMITRAAN
ANTARA PIMPINAN JEMAAT (PENDETA) DENGAN MAJELIS JEMAAT DI GEREJA METHODIST
INDONESIA
Gereja
Methodist Indonesia adalah gereja yang berdasarkan kepada sistem gereja
episkopal koneksional, yaitu sistem yang diwarisi dari Gereja Methodist
Amerika, Richard Daulay dalam bukunya “Episkopal Koneksional-Sejarah, ajaran
dan organisasi Gereja Methodist Indonesia” menjelaskan bahwa sistem GMI ini
secara historis berasal dari akar tradisi ekklesia
dari Gereja Methodist Amerika yang sekarang namanya adalah United Methodist Church[8].
Sistem
episkopal ini terkait dengan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang bishop
sebagai episkopos (pengawas). Dalam
sistem episkopal murni bishop
memiliki kekuasaan mutlak atau dengan bahasa yang dipakai oleh Sahat Martua
Lumban Tobing dalam bukunya sebagai kekuasaan berada pada aturan satu orang
dengan aturan main: 1) Bishop bertanggung jawab terhadap penempatan pendeta; 2)
Bishop memiliki hak kekuasaan veto dalam penahbisan; 3) Bishop adalah pejabat
yang secara hukum adalah pejabat tertinggi. Sehingga kekuasaan bishop
mendominasi sistem pemerintahan di gereja Methodist.[9]
Bahkan dalam Disiplin GMI menjelaskan
juga bahwa Gereja Methodist Indonesia menganut sistem keepiskopal yang sama
dijelaskan pada poin diatas bahwa dimana kepemimpinan tertinggi dipegang oleh
Bishop.[10]
Atau dengan pengertian bahwa gereja dipimpin oleh beberapa bishop yang bekerja
dan melayani secara koneksional, terkait satu dengan yang lain.[11]
Sedangkan
dalam pemahaman episkopal yang koneksional Gereja Methodist Indonesia, ke-episkopos-an seorang Bishop, di ordinansi kan melalui sistem pengawasan
kepemimpinan Distrik Superintendet, dan para pendeta lokal yang di tempatkan (Pastor in charge).
Sistem
episkopal koneksional ini terkoneksi satu dengan yang lain dalam beberapa
gereja melalui tahapan-tahapan konferensi-konferensi yang ada dalam Gereja
Methodist Indonesia. Pendeta lokal sebagai anggota konferensi
mengidentifikasikan dirinya sebagai utusan gereja, sebagai representasi dari
pengawasan atau episkopos itu sendiri. [12]
Lebih lanjut, tentang koneksional, Duecker dalam bukunya “Tension in the connection” menjelaskan bahwa istilah koneksional
lebih merujuk juga kepada perwujudan
dari hubungan diantara denominasi dan setiap orang yang tergabung di dalamnya
dalam sebuah unit gereja. Seorang jemaat tidak hanya spesifik hanya menjadi
anggota gereja lokal, tetapi secara menyeluruh ia menjadi anggota Gereja
Methodist.[13]
II. I. Tantangan kemitraan antara
pimpinan jemaat dan majelis dalam Gereja Methodist Indonesia.
Telah
di uraikan dalam bagian pendahuluan bahwa kemitraan dalam pemahaman ini
bertujuan untuk memahami akan keharmonisan dalam pelayanan suatu gereja untuk
mencapai tujuan bersama demi memuliakan Allah. Tetapi pada kenyataan dalam Gereja
Methodist Indonesia kemitraan dalam sistem episkopal koneksional ini menuai
banyak sekali persepsi, masalah yang dilematis berkenaan dengan sistem
kepemimpinan[14].
Persepsi
yang berbeda, problema itu didasari dengan berbagai alasan terutama menyangkut
akan siapa yang menjadi ketua dalam ke-majelis-an, menyangkut juga dengan
bagaimana pelaksanaan atau penerapan sistem ini dalam proses suatu pelayanan, baik dalam administrasi maupun dalam lingkup pelayanan
itu sendiri.
Hal ini dilatar
belakangi dengan banyaknya majelis atau jemaat yang berlatar belakang bukan
dari jemaat Methodist murni, atau jemaat yang ber attestasi dari gereja lain yang memiliki sistem yang lain
(presbiterian, kongresional, dan lain sebagainya)[15].
Dan juga disebabkan kurangnya pembinaan akan ke-Methodist-an bagi para majelis
dan jemaat dalam gereja lokal.
Akhirnya
disebabkan hal demikian, mengutip Richard Daulay dalam bukunya bahwa GMI
mengalami yang namanya krisis identitas
dan akhirnya gereja diperintah oleh majelis dengan segala badan atau komisi
yang ada didalamnya. [16]
Lebih
jauh Richard Daulay dalam bukunya memberikan contoh bahwa Gereja Methodist
Indonesia sudah bergeser dari prinsip ke-episkopalan-nya dengan membandingkankan
antara GMI yang episkopal dengan Gereja Batak Karo Protestan dengan
presibiterial sinodalnya.
“Pada rapat yang pertama dari majelis gereja
haruslah mengorganisir dirinya
dengan memilih ketua (boleh, pendeta,
guru Inji, dan kaum awam).[17]
“Yang menjadi Ketua Majelis Jemaat ialah Pendeta jemaat, apabila dalam jemaat
tersebut belum ada pendeta, yang menjadi
ketua adalah guru agama. Dan jikalau
guru agama belum ada, yang menjadi ketua adalah seorang dari penatua yang ada oleh majelis jemaat.”[18]
Dan beliau
mempertanyakan tentang gereja tersebut mana yan lebih episkopal?[19]
Jikalau
kita bandingkan dengan Disiplin GMI tahun 2013, hal yang sama yang dicatat oleh
Daulay dalam bukunya terulang kembali. Disiplin GMI 2013 menjelaskan tentang
posisi ketua majelis dengan “nada” yang
hampir sama dengan Disiplin GMI 1980:[20]
Walaupun dalam
penjelasan disiplin tahun 2013 dijelaskan dibagian akhir Tugas dan tanggung
jawab ketua majelis poin 2, ….Atas
bimbingan pimpinan jemaat. Tetapi tetap saja kemurnian dari episkopal GMI masih abu-abu.
Karena akhirnya, struktur dari keepiskopal tidak terlaksana dengan baik, sehingga
dapat menyebabkan gereja tidak mempunyai identitas yang jelas.
Dan penulis
kuatirkan akan terjadi polemik kepemimpinan
antara kepemimpinan yang dipegang kaum warga jemaat sebagai ketua majelis, dan
posisi serta kewenangan pimpinan jemaat sebagai mandataris dari sistem
keepiskopalan yang bertugas sebagai episkopos
dalam suatu gereja (lokal) GMI.
II.2. Solusi dan saran penerapan
sistem episkopal dalam kemitraan antara pimpinan jemaat (pendeta) dan majelis
jemaat.
Walaupun dalam
sistem pemerintahan suatu organisasi baik itu organisasi umum berbicara tentang
otoritas, dan ke-episkopal-an lebih menjelaskan kepada otoritas ter-atas yaitu
bishop sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dalam Gereja Methodist Indonesia,
dan didelegasikan kepada para Distriksuperintendent (DS), dan didelegasikan
kepada para pendeta yang ditempatkan oleh konferensi tahunan dalam gereja
lokal. Tetapi dalam ini tidak bertujuan untuk menitikberatkan kepada otoritasi
kekuasaan. Menurut penulis bahwa hal ini lebih bertujuan untuk menjaga
kewibawaan ciri khas gereja dengan segala pengajarannya dalam Gereja Methodist
Indonesia.
Oleh karena itu,
tantangan dengan segala persepsi, yang menyangkut tentang ke-episkopal-an yang
sering di anggap sebagai “kekuasaan yang otoriter” ditangan para pendeta
sebagai pemegang mandat ke-episkopos-an seharusnya tidak perlu dikuatirkan
(terutama oleh kaum warga gereja, majelis).
Yang ada
sebaiknya adalah pemahaman bersama yang positif tentang suatu pembagian tugas
dan pembagian sistem pelayanan yang bertujuan untuk kemajuan suatu pelayanan
dalam gereja yang harus dipahami kaum warga gereja dan hamba Tuhan (pendeta).
Tetapi dengan tidak mengabaikan struktur Gereja Methodist Indonesia yang telah
di atur bersama ketika perumusan Disiplin dalam Konferensi Agung yang juga kaum
warga gereja ikut andil didalam penyusunannya .
Mengutip penjelasan Bishop Jack M
Tuel yang di kutip oleh Richad Daulay dalam bukunya “Episkopal Koneksional;
Sejarah,ajaran, dan organisasi Gereja Methodist Indonesia”, Bishop Tuel
menganalogikan sistem pemerintahan episkopal koneksional dengan sistem
pemerintahan tiga pilar ‘Trias Politika”, yaitu legistatif, eksekutif, dan
Yudikatif. Dimana Konferensi Agung sebagai legistatif yang fungsinya membuat
disiplin (by laws), bishop sebagai
eksekutif yang berfungsi menjalankan to
execute “peraturan-peraturan” , dan DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang
berfungsi mempertimbangkan, meneliti, dan memutuskan sah atau tidaknya suatu
keputusan.[21]
Mengamati penjelasan Bishop Jack M.
Tuel ini, seharusnya inilah yang dipahami dalam gereja lokal, menyangkut
kemitraan antara pimpinan jemaat (Pendeta) dan majelis, adanya suatu pembagian
tugas, pembagian job description
dalam suatu pelayanan. Tentunya intinya adalah identitas Gereja Methodist
Indonesia yang episkopal tidak terabaikan.
Tentang kedudukan kepemimpinan
(pemimpin) dalam suatu gereja lokal, seiring dengan pemahaman episkopal, dalam
penjelasan Bishop Jack M Tuel, bahwa sebagai to execute adalah bishop yang didelegasikan
kepada pendeta yang ditempatkan (Pastor
in charge), maka sudah selayaknya dan memang seharusnya, pendeta lah yang
menjadi nakhoda atau lebih detail
sebagai leader/ ketua dalam suatu
organisasi Gereja Methodist Indonesia yang bercirikan episkopal. Mengapa?
Karena mereka-mereka (baca: pendeta), yang bertanggung jawab menjaga ajaran,
dan aturan-aturan serta identitas Gereja Methodist Indonesia tetap ada pada rel yang sudah ditetapkan.
Berkenaan dengan
kedudukan pimpinan jemaat (pendeta) dalam aturan yang tertulis dalam Disiplin
GMI 2013[22],penulis
berpendapat bahwa aturan tersebut telah meleset dari warna ke-episkopal-an serta
harapan identitas Gereja Methodist Indonesia akan terus terjaga baik lokal
maupun secara umum. Dengan mengijinkan warga gereja menjadi Ketua dalam
ke-majelis-an adalah suatu pergeseran dari sistem ke-episkopal-an itu sendiri.
Membandingkan dengan Disiplin GMI
tahun 2009, BAB III Pasal 22 yang menjelaskan bahwa Ketua Majelis adalah
Pimpinan Jemaat, dan dijelaskan dalam Pasal 23 bahwa tugas Pimpinan Jemaat
dalam poin 1. Memimpin dan mengarahkan rapat Majelis sehingga mencapai sasaran
dan tujuannya.[23]
Dan dibandingkan dengan bagian yang sama, yang di atur dalam Disiplin GMI tahun
2013. Maka kecendrungan kita bisa memahami bahwa yang lebih menekankan ke-episkopal-an
adalah Disiplin GMI tahun 2009, dengan alasan bahwa tugas dan tanggung jawab
pimpinan jemaat, sebagai ketua majelis jelas untuk memimpin dan mengarahkan
untuk mencapai suatu tujuan yang rel
nya tentunya adalah sistem GMI itu sendiri yang notabene nya dipahami oleh pimpinan jemaat.
BAB
III.
KESIMPULAN
Dari uraian BAB I dan BAB II diatas,
tentang kemitraan antara pimpinan jemaat (pendeta) dan majelis jemaat dalam
Gereja Methodist Indonesia. Maka penulis memberikan beberapa kesimpulan.
1. Kemitraan
antara Pimpinan Jemaat (Pendeta) dan Majelis Jemaat dalam pelayanan suatu
gereja lokal sangat penting demi tercapainya tujuan gereja untuk kemuliaan
Allah.
2. Pimpinan
Jemaat sebagai episkopos yang menjaga
identitas gereja dalam hal sistem dan pengajaran memegang peranan penting dalam
mengendalikan dan mengatur suatu jalannya pemerintahan dan pelayanan gereja.
Termasuk majelis sebagai mitra kerja di dalamnya.
3. Untuk
menjaga ciri khas atau identitas ke-episkopal-an dalam Gereja Methodist
Indonesia, maka seharusnya jabatan Ketua Majelis sebagai leader dalam suatu
kemajelisan harus kembali kepada pimpinan jemaat (pendeta), hal ini bukan
bertujuan untuk mencari siapa yang berkuasa (otoritasi/ otoriter) tetapi lebih
menekankan kepada “menjaga identitas gereja”, karena leader memegang peranan penting dalam suatu organisasi, bahkan
organisasi gereja sekalipun. Sehingga dengan pemahaman tersebut, tidak akan ada
lagi praduga yang mengarah kepada “kekuasaan”, tetapi lebih kepada menerima
dengan legowo aturan ini untuk dan
demi terjaganya identitas suatu gereja yang di dalamnya berisi doktrin, aturan
dan prinsip Gereja Methodist Indonesia.
[1] Komponen
pelayan adalah hamba Tuhan (pendeta, guru Injil), majelis jemaat, aktivis, dan
jemaat itu sendiri dalam suatu kesatuan pelayanan yang masing masing mengambil
peranan penting dalam kesuksesan suatu pelayanan.
[2] Yang diatur dalam BAB III tentang Majelis Jemaat pasal 15 s.d pasal 43, dan BAB V tentang
Kependetaan terutama pasal 61, Disiplin GMI tahun 2013.
[3] Band. Mitra dalam kamus besar bahasa Indonesia dapat
diartikan kawan, sahabat, rekan, teman sekerja. ------, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (http://kbbi.web.id/mitra),
diakses 28 Maret 2015
[4] Band. Charles
Jefferson, Pejabat Gereja sebagai Gembala Sidang, (Hongkong; Living books for all, 1977), 13-15.
[5] W.E Vine, Merril . Unger, William White, Jr. Vine’s Exspository Dictionary o the Old
Testament, (USA,; Thomas Nelson Publisher, 1985), 228.
[6] Gerhard Kittel,
Teological Dictionary of the New
Testament Vo. II, (Grand Rapids;
Eedermans, 1979), 907.
[7] Djimanto
Setiadji, Majelis gereja yang melayani,
(Yogyakarta; Taman pustaka Kristen, 2011), 7
[8] Richard Daulay, Episkopal
Koneksional-Sejarah, ajaran dan organisasi Gereja Methodist Indonesia, (http://abbah.yolasite.com/resources/Episkopal%20
Koneksional.pdf; diakses 28 Maret 2015), 95
[9] Sahat Martua
Lumban Tobing, Model Kepemimpinan
Episkopal, (Jakarta, BPK Gunung Mulia;2003), 2-3
[10]
---------------, Disiplin GMI
tahun 2013, (Medan, Badan Disiplin
GMI, 2014), 27
[11] Richard Daulay, Mengenal
Gereja Methodist Indonesia, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 167
[12] Band. Jack M. Tuell, The Organization of the Methodist
Church, (Nasville, Abingdon Press, 2005), 61-62.
[13] R Sheldon Duecker, Tension
In The Connection, (Nasville, Abidnon Press, 1983), 21
[14] Sistem hirarki
episkopal bersangkut paut erat dengan sistem kepemimpinan suatu gereja untuk
menjaga identitas gereja.
[15] Jemaat GMI yang berlatar belakang suku Batak lebih
mudah untuk di berikan pemahaman akan episkopal karena lebih condong mereka
berlatar belakang dari Lutheran sedangkan
jemaat GMI yang berlatar belakang suku Tionghoa lebih condong kepada Persbiterian disebabkan pengaruh dari
gereja- gereja Calvinis. Dan bahkan akan lebih sulit menjelaskan pemahaman akan
ke-episkopal-an dalam GMI yang berlatar belakang suku Tionghoa, ditambah lagi
dengan sumber daya hamba Tuhan yang lebih banyak bersumber dari STT yang
berlatar belakang Calvinis. (Penulis sendiri dari awal melayani di GMI, berasal
dari GMI berlatar belakang suku Tionghoa-Post note).
[16] Richard Daulay, Mengenal
gereja…., 49
[17] Dikutip dari Disiplin GMI Tahun 1980,hal 39; oleh
Richard Daulay, Mengenal gereja…, 18
[18] Dikutip dari Tata Gereja BNKP oleh Richard Daulay, Mengenal gereja…., 18
[19] Richard Daulay,
Mengenal…, 50.
[20] Band. -----------, Disiplin GMI tahun 2013, (Medan; Badan Disiplin GMI, 2014), 42-43.
[21] Richard Daulay,
Episkopal Koneksional; Sejarah; ajaran
dan organisasi Gereja Methodist Indonesia, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2013), 87-88.
[22] --------------, Disiplin
GMI Tahun 2013, 42-43
[23] -------------, Disiplin
GMI Tahun 2009, 44
No comments:
Post a Comment