SELAMAT DATANG

Selamat datang di blog saya, semoga anda diberkati, Tuhan Yesus mengasihi anda.
Jika membutuhkan pelayanan saya silahkan menghubungi email dave_kandar@yahoo.com; atau Hp. 0813-6409-5029.

Tentang saya

My photo
Pelayanan di Gereja Methodist Indonesia (GMI) Getsemani Binjai Sumatera Utara sebagai asistan gembala sidang dan gembala Pos Pelayanan di Brahrang (2004-2011). Gembala Sidang GMI Damai Sejahtera Jakarta Barat (2011-2013). Asistan gembala sidang di GMI Anugerah Batam (2013-2014). Gembala Sidang GMI Kana Marelan (2014-2015). Pimpinan Perguruan PKMI Methodist-10 TK-SD-SMP Belawan (2015-2018). Asistan Pimpinan Jemaat GMI Kanaan Medan (2018-2019). Pimpinan Perguruan PKMI 2 Kisaran Asahan (2019-2021). Gembala Sidang GMI Kanaan Medan (2021-2022). Pimpinan Perguruan PKMI Pangkalan Brandan dan Gembala Sidang GMI Pangkalan Brandan (2022- sekarang) Tinggal di Pangkalan Brandan Langkat dan melayani bersama istri Pdt. Delima Li En dan dikaruniai seorang anak Daud Kharis Delvidson Kandar.

Blog Archive

Tuesday, June 30, 2015

KEMITRAAN ANTARA PIMPINAN JEMAAT (PENDETA) DENGAN MAJELIS JEMAAT DI GEREJA METHODIST INDONESIA



BAB I.
PENDAHULUAN

Dalam organisasi dan dalam pelayanan gerejawi keberhasilan suatu pelayanan gerejawi tidak hanya tergantung kepada suatu individu atau kelompok, tetapi bagaimana suatu komponen pelayan[1] dalam gereja dapat bekerja sama dan sama-sama bekerja dalam mengembangkan pelayanan dan tentunya dalam koridor tanggung jawab dan peranan masing masing yang dipercayakan dalam bagian pelayanannya.
Tulisan ini akan membahas lebih mendetail tentang kemitraan antara pimpinan jemaat (pendeta) dan majelis dalam lingkup Gereja Methodist Indonesia yang notabene nya gereja dengan  ke-khas-an sistem episkopal (di Indonesia, GMI dengan sistem episkopal koneksional) yang diatur dalam sebuah aturan yang terdapat dalam Disiplin Gereja Methodist Indonesia.[2]
Kemitraan yang bertujuan untuk memahami akan pentingnya keteraturan dan kerja sama dalam suatu pelayanan gerejawi demi mencapai keharmonisan pelayanan suatu gereja yang bertujuan untuk  memuliakan Allah.[3]Oleh karena itu, dalam tulisan ini lebih memfokuskan kepada kemitraan dalam organisasi dan kemitraan dalam pelayanan bersama antara pimpinan jemaat (pendeta) dan majelis.
Kemitraan dalam gereja antara pimpinan jemaat (Pendeta) dengan majelis sangat penting, di satu sisi pimpinan jemaat (pendeta) adalah hamba Tuhan, pelayanan Tuhan yang di pilih Tuhan untuk menjadi seorang ‘gembala”, salah satu dari rahasia keindahan dari panggilan “gembala” sebagai sebuah gelar adalah terletak dalam hal ini, istilah gembala merujuk langsung kepada Kristus sendiri. Dalam budaya Ibrani, gembala itu telah dijadikan sebuah ibarat penjaga domba yang dipercayakan, memiliki tanggung jawab.[4] Dalam tugas lainnya, yang sangat penting, seorang pimpinan jemaat (pendeta) juga adalah seorang pemimpin rohani, yang bersangkut paut dalam jalannya suatu kepemimpinan dalam gereja.  Jika dibandingkan definisi kepemimpinan dalam perjanjian lama juga bersumber dari pemahaman tentang gembala, yaitu metafora dari kata Ro’eh yang diterjemahkan sebagai  shepherd leadership yang artinya pemimpin sebagai gembala, yang artinya sebagai raja, imam dan nabi yang bertugas memelihara dan  memberi makan umatnya.[5]  Bandingkan juga dengan istilah dalam perjanjian baru poimen  metafora untuk Yesus sebagai gembala yang baik.[6]
Ini berarti seorang  pimpinan jemaat (Pendeta) adalah seorang yang mampu memimpin, memerintah, mengatur, dan memiliki wibawa dan wewenang yang berasal dari kasih Kristus.
Di sisi lain, mitra dari pimpinan jemaat (pendeta), yaitu majelis adalah orang-orang percaya yang sudah menjadi warga gereja, dipilih, diteguhkan  untuk memangku tugas dan jabatan gerejawi . Dan tidak ada seorang pun warga gereja yang dapat menjadi majelis gereja tanpa dikehendaki oleh Allah dengan perantaraan dipilih, dipanggil, dan diteguhkan.  Dan tentunya dengan fungsi untuk mewujudkan kebijaksanaan dan pelayanan gereja dengan ketentuan yang diatur dalam aturan atau tata gereja yang berlaku[7] (dalam hal ini GMI adalah Disiplin GMI yang berlaku).
Melalui pemahaman dari dua jabatan ini, yaitu pimpinan jemaat (pendeta), dan majelis, dapat di pahami bahwa keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Yaitu mewujudkan kebijaksanaan gereja atau tugas gereja dalam panggilan gereja di dunia ini, dengan wibawa, wewenang dan kuasa yang berasal dari kasih Kristus, dan didasarkan pada aturan atau tata gereja yang berlaku.










 BAB II
KEMITRAAN ANTARA PIMPINAN JEMAAT (PENDETA) DENGAN MAJELIS JEMAAT DI GEREJA METHODIST INDONESIA

Gereja Methodist Indonesia adalah gereja yang berdasarkan kepada sistem gereja episkopal koneksional, yaitu sistem yang diwarisi dari Gereja Methodist Amerika, Richard Daulay dalam bukunya “Episkopal Koneksional-Sejarah, ajaran dan organisasi Gereja Methodist Indonesia” menjelaskan bahwa sistem GMI ini secara historis berasal dari akar tradisi ekklesia dari Gereja Methodist Amerika yang sekarang namanya adalah United Methodist Church[8].
Sistem episkopal ini terkait dengan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang bishop sebagai episkopos (pengawas). Dalam sistem episkopal murni bishop memiliki kekuasaan mutlak atau dengan bahasa yang dipakai oleh Sahat Martua Lumban Tobing dalam bukunya sebagai kekuasaan berada pada aturan satu orang dengan aturan main: 1) Bishop bertanggung jawab terhadap penempatan pendeta; 2) Bishop memiliki hak kekuasaan veto dalam penahbisan; 3) Bishop adalah pejabat yang secara hukum adalah pejabat tertinggi. Sehingga kekuasaan bishop mendominasi sistem pemerintahan di gereja Methodist.[9] Bahkan dalam Disiplin  GMI menjelaskan juga bahwa Gereja Methodist Indonesia menganut sistem keepiskopal yang sama dijelaskan pada poin diatas bahwa dimana kepemimpinan tertinggi dipegang oleh Bishop.[10] Atau dengan pengertian bahwa gereja dipimpin oleh beberapa bishop yang bekerja dan melayani secara koneksional, terkait satu dengan yang lain.[11]
Sedangkan dalam pemahaman episkopal yang koneksional Gereja Methodist Indonesia, ke-episkopos-an seorang Bishop, di ordinansi kan melalui sistem pengawasan kepemimpinan Distrik Superintendet, dan para pendeta lokal yang di tempatkan (Pastor in charge).
Sistem episkopal koneksional ini terkoneksi satu dengan yang lain dalam beberapa gereja melalui tahapan-tahapan konferensi-konferensi yang ada dalam Gereja Methodist Indonesia. Pendeta lokal sebagai anggota konferensi mengidentifikasikan dirinya sebagai utusan gereja, sebagai representasi dari pengawasan atau episkopos itu sendiri. [12] Lebih lanjut, tentang koneksional, Duecker dalam bukunya “Tension in the connection” menjelaskan bahwa istilah koneksional lebih merujuk juga  kepada perwujudan dari hubungan diantara denominasi dan setiap orang yang tergabung di dalamnya dalam sebuah unit gereja. Seorang jemaat tidak hanya spesifik hanya menjadi anggota gereja lokal, tetapi secara menyeluruh ia menjadi anggota Gereja Methodist.[13]

II. I. Tantangan kemitraan antara pimpinan jemaat dan majelis dalam Gereja Methodist Indonesia.
Telah di uraikan dalam bagian pendahuluan bahwa kemitraan dalam pemahaman ini bertujuan untuk memahami akan keharmonisan dalam pelayanan suatu gereja untuk mencapai tujuan bersama demi memuliakan Allah. Tetapi pada kenyataan dalam Gereja Methodist Indonesia kemitraan dalam sistem episkopal koneksional ini menuai banyak sekali persepsi, masalah yang dilematis berkenaan dengan sistem kepemimpinan[14].
Persepsi yang berbeda, problema itu didasari  dengan berbagai alasan terutama menyangkut akan siapa yang menjadi ketua dalam ke-majelis-an, menyangkut juga dengan bagaimana pelaksanaan atau penerapan sistem ini dalam proses suatu pelayanan,  baik dalam administrasi maupun dalam lingkup pelayanan itu sendiri.
Hal ini dilatar belakangi dengan banyaknya majelis atau jemaat yang berlatar belakang bukan dari jemaat Methodist murni, atau jemaat yang ber attestasi dari gereja lain yang memiliki sistem yang lain (presbiterian, kongresional, dan lain sebagainya)[15]. Dan juga disebabkan kurangnya pembinaan akan ke-Methodist-an bagi para majelis dan jemaat dalam gereja lokal.
Akhirnya disebabkan hal demikian, mengutip Richard Daulay dalam bukunya bahwa GMI mengalami yang namanya krisis identitas dan akhirnya gereja diperintah oleh majelis dengan segala badan atau komisi yang ada didalamnya. [16]
Lebih jauh Richard Daulay dalam bukunya memberikan contoh bahwa Gereja Methodist Indonesia sudah bergeser dari prinsip ke-episkopalan-nya dengan membandingkankan antara GMI yang episkopal dengan Gereja Batak Karo Protestan dengan presibiterial sinodalnya.
“Pada rapat yang pertama dari majelis gereja haruslah  mengorganisir dirinya dengan  memilih ketua (boleh, pendeta, guru Inji, dan kaum awam).[17] “Yang menjadi Ketua Majelis Jemaat ialah Pendeta jemaat, apabila dalam jemaat tersebut belum ada pendeta, yang  menjadi ketua adalah guru agama. Dan  jikalau guru agama belum ada, yang menjadi ketua adalah seorang dari  penatua yang ada oleh majelis jemaat.”[18]

Dan beliau mempertanyakan tentang gereja tersebut mana yan lebih episkopal?[19]
Jikalau kita bandingkan dengan Disiplin GMI tahun 2013, hal yang sama yang dicatat oleh Daulay dalam bukunya terulang kembali. Disiplin GMI 2013 menjelaskan tentang posisi ketua majelis dengan  “nada” yang hampir sama dengan Disiplin GMI 1980:[20]
Walaupun dalam penjelasan disiplin tahun 2013 dijelaskan dibagian akhir Tugas dan tanggung jawab ketua majelis poin 2, ….Atas bimbingan pimpinan jemaat. Tetapi tetap saja kemurnian dari episkopal  GMI masih abu-abu. Karena akhirnya, struktur dari keepiskopal tidak terlaksana dengan baik, sehingga dapat menyebabkan gereja tidak mempunyai identitas yang jelas.
Dan penulis kuatirkan akan terjadi polemik kepemimpinan antara kepemimpinan yang dipegang kaum warga jemaat sebagai ketua majelis, dan posisi serta kewenangan pimpinan jemaat sebagai mandataris dari sistem keepiskopalan yang bertugas sebagai episkopos dalam suatu gereja (lokal) GMI.

            II.2. Solusi dan saran penerapan sistem episkopal dalam kemitraan antara pimpinan jemaat (pendeta) dan majelis jemaat.
            Walaupun dalam sistem pemerintahan suatu organisasi baik itu organisasi umum berbicara tentang otoritas, dan ke-episkopal-an lebih menjelaskan kepada otoritas ter-atas yaitu bishop sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dalam Gereja Methodist Indonesia, dan didelegasikan kepada para Distriksuperintendent (DS), dan didelegasikan kepada para pendeta yang ditempatkan oleh konferensi tahunan dalam gereja lokal. Tetapi dalam ini tidak bertujuan untuk menitikberatkan kepada otoritasi kekuasaan. Menurut penulis bahwa hal ini lebih bertujuan untuk menjaga kewibawaan ciri khas gereja dengan segala pengajarannya dalam Gereja Methodist Indonesia.
Oleh karena itu, tantangan dengan segala persepsi, yang menyangkut tentang ke-episkopal-an yang sering di anggap sebagai “kekuasaan yang otoriter” ditangan para pendeta sebagai pemegang mandat ke-episkopos-an seharusnya tidak perlu dikuatirkan (terutama oleh kaum warga gereja, majelis).
Yang ada sebaiknya adalah pemahaman bersama yang positif tentang suatu pembagian tugas dan pembagian sistem pelayanan yang bertujuan untuk kemajuan suatu pelayanan dalam gereja yang harus dipahami kaum warga gereja dan hamba Tuhan (pendeta). Tetapi dengan tidak mengabaikan struktur Gereja Methodist Indonesia yang telah di atur bersama ketika perumusan Disiplin dalam Konferensi Agung yang juga kaum warga gereja ikut andil didalam penyusunannya .
            Mengutip penjelasan Bishop Jack M Tuel yang di kutip oleh Richad Daulay dalam bukunya “Episkopal Koneksional; Sejarah,ajaran, dan organisasi Gereja Methodist Indonesia”, Bishop Tuel menganalogikan sistem pemerintahan episkopal koneksional dengan sistem pemerintahan tiga pilar ‘Trias Politika”, yaitu legistatif, eksekutif, dan Yudikatif. Dimana Konferensi Agung sebagai legistatif yang fungsinya membuat disiplin (by laws), bishop sebagai eksekutif  yang berfungsi menjalankan  to execute “peraturan-peraturan” , dan DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang berfungsi mempertimbangkan, meneliti, dan memutuskan sah atau tidaknya suatu keputusan.[21]
            Mengamati penjelasan Bishop Jack M. Tuel ini, seharusnya inilah yang dipahami dalam gereja lokal, menyangkut kemitraan antara pimpinan jemaat (Pendeta) dan majelis, adanya suatu pembagian tugas, pembagian job description dalam suatu pelayanan. Tentunya intinya adalah identitas Gereja Methodist Indonesia yang episkopal tidak terabaikan.
            Tentang kedudukan kepemimpinan (pemimpin) dalam suatu gereja lokal, seiring dengan pemahaman episkopal, dalam penjelasan Bishop Jack M Tuel, bahwa sebagai  to  execute adalah bishop yang didelegasikan kepada pendeta yang ditempatkan (Pastor in charge), maka sudah selayaknya dan memang seharusnya, pendeta lah yang menjadi nakhoda atau lebih detail sebagai leader/ ketua dalam suatu organisasi Gereja Methodist Indonesia yang bercirikan episkopal. Mengapa? Karena mereka-mereka (baca: pendeta), yang bertanggung jawab menjaga ajaran, dan aturan-aturan serta identitas Gereja Methodist Indonesia tetap ada pada  rel  yang sudah ditetapkan.
            Berkenaan dengan kedudukan pimpinan jemaat (pendeta) dalam aturan yang tertulis dalam Disiplin GMI 2013[22],penulis berpendapat bahwa aturan tersebut telah meleset dari warna ke-episkopal-an serta harapan identitas Gereja Methodist Indonesia akan terus terjaga baik lokal maupun secara umum. Dengan mengijinkan warga gereja menjadi Ketua dalam ke-majelis-an adalah suatu pergeseran dari sistem ke-episkopal-an itu sendiri.
            Membandingkan dengan Disiplin GMI tahun 2009, BAB III Pasal 22 yang menjelaskan bahwa Ketua Majelis adalah Pimpinan Jemaat, dan dijelaskan dalam Pasal 23 bahwa tugas Pimpinan Jemaat dalam poin 1. Memimpin dan mengarahkan rapat Majelis sehingga mencapai sasaran dan tujuannya.[23] Dan dibandingkan dengan bagian yang sama, yang di atur dalam Disiplin GMI tahun 2013. Maka kecendrungan kita bisa memahami bahwa yang lebih menekankan ke-episkopal-an adalah Disiplin GMI tahun 2009, dengan alasan bahwa tugas dan tanggung jawab pimpinan jemaat, sebagai ketua majelis jelas untuk memimpin dan mengarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang rel nya tentunya adalah sistem GMI itu sendiri yang notabene nya dipahami oleh pimpinan jemaat.

BAB III.
                                                              KESIMPULAN

            Dari uraian BAB I dan BAB II diatas, tentang kemitraan antara pimpinan jemaat (pendeta) dan majelis jemaat dalam Gereja Methodist Indonesia. Maka penulis memberikan beberapa kesimpulan.
1.      Kemitraan antara Pimpinan Jemaat (Pendeta) dan Majelis Jemaat dalam pelayanan suatu gereja lokal sangat penting demi tercapainya tujuan gereja untuk kemuliaan Allah.
2.      Pimpinan Jemaat sebagai episkopos yang menjaga identitas gereja dalam hal sistem dan pengajaran memegang peranan penting dalam mengendalikan dan mengatur suatu jalannya pemerintahan dan pelayanan gereja. Termasuk majelis sebagai mitra kerja di dalamnya.
3.      Untuk menjaga ciri khas atau identitas ke-episkopal-an dalam Gereja Methodist Indonesia, maka seharusnya jabatan Ketua Majelis sebagai leader  dalam suatu kemajelisan harus kembali kepada pimpinan jemaat (pendeta), hal ini bukan bertujuan untuk mencari siapa yang berkuasa (otoritasi/ otoriter) tetapi lebih menekankan kepada “menjaga identitas gereja”, karena leader memegang peranan penting dalam suatu organisasi, bahkan organisasi gereja sekalipun. Sehingga dengan pemahaman tersebut, tidak akan ada lagi praduga yang mengarah kepada “kekuasaan”, tetapi lebih kepada menerima dengan legowo aturan ini untuk dan demi terjaganya identitas suatu gereja yang di dalamnya berisi doktrin, aturan dan prinsip Gereja Methodist Indonesia.

















































[1]  Komponen pelayan adalah hamba Tuhan (pendeta, guru Injil), majelis jemaat, aktivis, dan jemaat itu sendiri dalam suatu kesatuan pelayanan yang masing masing mengambil peranan penting dalam kesuksesan suatu pelayanan.
[2] Yang diatur dalam BAB III tentang Majelis Jemaat  pasal 15 s.d pasal 43, dan BAB V tentang Kependetaan terutama pasal 61, Disiplin GMI tahun 2013.
[3] Band. Mitra dalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diartikan kawan, sahabat, rekan, teman sekerja. ------, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (http://kbbi.web.id/mitra), diakses 28 Maret 2015
[4]  Band. Charles Jefferson,  Pejabat Gereja sebagai Gembala Sidang, (Hongkong;  Living books for all, 1977),  13-15.
[5]  W.E  Vine, Merril . Unger, William White, Jr. Vine’s Exspository Dictionary o the Old Testament, (USA,; Thomas Nelson Publisher, 1985), 228.
[6]  Gerhard Kittel, Teological Dictionary of the New Testament Vo. II, (Grand Rapids;  Eedermans, 1979), 907.
[7]  Djimanto Setiadji, Majelis gereja yang melayani, (Yogyakarta; Taman pustaka Kristen, 2011), 7
[8] Richard Daulay, Episkopal Koneksional-Sejarah, ajaran dan organisasi Gereja Methodist Indonesia, (http://abbah.yolasite.com/resources/Episkopal%20 Koneksional.pdf; diakses 28 Maret 2015),  95
[9]   Sahat Martua Lumban Tobing, Model Kepemimpinan Episkopal, (Jakarta, BPK Gunung Mulia;2003),  2-3
[10]  ---------------, Disiplin GMI tahun 2013, (Medan,  Badan Disiplin GMI, 2014), 27
[11] Richard Daulay, Mengenal Gereja Methodist Indonesia, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 167
[12] Band. Jack M. Tuell, The Organization of the Methodist  Church, (Nasville, Abingdon Press, 2005), 61-62.
[13] R Sheldon Duecker, Tension In The Connection, (Nasville, Abidnon Press, 1983), 21
[14]  Sistem hirarki episkopal bersangkut paut erat dengan sistem kepemimpinan suatu gereja untuk menjaga identitas  gereja.
[15] Jemaat GMI yang berlatar belakang suku Batak lebih mudah untuk di berikan pemahaman akan episkopal karena lebih condong mereka berlatar belakang dari Lutheran sedangkan jemaat GMI yang berlatar belakang suku Tionghoa lebih condong kepada Persbiterian disebabkan pengaruh dari gereja- gereja Calvinis. Dan bahkan akan lebih sulit menjelaskan pemahaman akan ke-episkopal-an dalam GMI yang berlatar belakang suku Tionghoa, ditambah lagi dengan sumber daya hamba Tuhan yang lebih banyak bersumber dari STT yang berlatar belakang Calvinis. (Penulis sendiri dari awal melayani di GMI, berasal dari GMI berlatar belakang suku Tionghoa-Post note).
[16] Richard Daulay, Mengenal gereja…., 49
[17] Dikutip dari Disiplin GMI Tahun 1980,hal 39; oleh Richard Daulay, Mengenal gereja…, 18
[18] Dikutip dari Tata Gereja BNKP oleh Richard Daulay, Mengenal gereja…., 18
[19]  Richard Daulay, Mengenal…, 50.
[20]  Band. -----------, Disiplin GMI tahun 2013, (Medan; Badan Disiplin GMI, 2014), 42-43.
[21]  Richard Daulay, Episkopal Koneksional; Sejarah; ajaran dan organisasi Gereja Methodist Indonesia, (Jakarta;  BPK Gunung Mulia, 2013), 87-88.
[22] --------------, Disiplin GMI Tahun 2013,  42-43
[23] -------------, Disiplin GMI Tahun 2009, 44

No comments: